Selasa, 15 April 2008

CERPEN: Yang Berbau Khas

Oleh Abdul Razak M.H. Pulo

Saya atau mereka yang tidak waras. Pertama saya menolak tapi akhirnya saya bersedia juga ke sini, ke rumah sakit jiwa yang berbau khas ini. Beberapa polisi membawa saya dengan mobil pick-up. Sampai di sini saya disambut beberapa orang berpakaian putih-putih. Mereka perawat. Raut muka mereka saja yang ramah, tapi sikap mereka jauh dari sifat simpatik. Itu tampak saat mereka menyuruh saya masuk ke ruang unit gawat darurat. Polisi-polisi itu mengawal di kiri-kanan saya. Mendorong-dorong saya. Lucu, saya tertawa sendiri.

Tiba di dalam ruangan saya langsung didudukkan pada sebuah kursi menghadap dokter berkacamata yang duduk di seberang meja. Dia menatap saya tak berkedip. Saya memalingkan muka ke samping kanan, tajam menghadap dinding. Polisi-polisi itu berdiri di belakang saya. Dengan sekali geleng, kini muka saya bertatapan langsung dengan dokter itu. Dia tersenyum. Saya membalas senyumnya, tapi tiga detik kemudian saya mengatup rapat-rapat bibir saya. Mata saya mendelik. Saya mengeraskan otot-otot lengan saya.

Tiba-tiba dokter itu bertanya "Ada yang bisa saya bantu?" dengan raut muka serius.

"Tidak!" jawab saya ketus

"Jadi kenapa saudara dibawa ke sini?"

"Tidak tahu saya, tanya sama bapak-bapak polisi itu. Saya tidak sakit jiwa. Masa mereka tega menangkap saya yang sedang menjalankan perintah makhluk planet."

"Memangnya mahkluk planet itu memerintahkan apa?" Tanya dokter lembut

“Saya harus menyelamatkan bumi ini dari keganasan nuklir, tahu?.”

“Lantas kenapa pak polisi menangkap saudara?”

“Begini, saat itu makhluk planet menyuruh saya mengambil sebuah Honda yang diparkir di pelataran bank BNI. Honda itu akan saya pakai berkeliling untuk menyebarkan berita akan punahnya bumi. Eh, tiba-tiba orang-orang meneriaki saya maling. Dan polisi yang ada di situ segera menangkap saya. Lalu membawa saya ke kantor mereka. Ya, saya jelaskanlah semua bahwa mahkluk planet yang menyuruh saya, berikut segala perintahnya. Eh, tak tahunya sekarang dibawanya pula saya ke rumah sakit jiwa. Apa-apaan ini.”

“Saudara yakin itu mahkluk planet?” dokter itu bertanya lagi

“Yakin. Sangat yakin. Mereka beberapa kali datang dalam mimpi saya. Bahkan saya bisa mendengar bisikannya, dok. Mereka juga bilang akan mengangkat saya menjadi raja.” Jawab saya, kemudian saya berujar dengan suara lirih sambil melemaskan otot-otot lengan saya “Aneh, kalian tidak peduli atas keselamatan bumi. Padahal saya sudah mendapat isyarat dari mahkluk planet kalau bumi ini akan musnah oleh nuklir – yang kini sedang dikembangkan di mana-mana. Kepala geng-nya Amerika. Kalian malah menganggap saya gila.”

Sejenak kemudian mata saya menerawang sekeliling ruangan dan berkata “Nah..nah.. sekarang mereka sedang berbisik lagi.”

“Mereka bisikkan apa?” tanya dokter itu cepat-cepat.

“Dia menyuruh saya lari dari sini, dok!.” Jawab saya sambil bangun tergesa-gesa, lalu menerobos kawalan menuju pintu. Namun, usaha saya sia-sia, polisi-polisi itu segera menyergap saya. Dan atas perintah dokter saya dimasukkan ke ruang tindakan. Saya meronta-ronta. Saya dipaksa berbaring di atas dipan busa. Kaki saya menendang-nendang. Tangan saya menonjok-nonjok. Tapi cengkraman mereka sangat kuat. Lalu kedua kaki dan tangan saya diikat pada tempat tidur dengan tali dari bahan kain. Saya masih meronta-ronta hingga tangan dan kaki saya sakit. Saya lihat seorang perawat sedang menyiapkan sebuah jarum suntik dan satu botol kecil obat. Dipatahkan ujung botol itu. Disedotnya obat di dalamnya dengan ujung jarum. Sekejap kemudian dia menyuntikkannya paksa pada bokong kanan saya. Saya menjerit kesakitan. Beberapa saat kemudian suasana menjadi hening. Yang terdengar hanya sayup-sayup deru pilu daun-daun cemara dilanda angin di depan rumah sakit. Suara itu kian halus, hingga akhirnya tak terdengar lagi.

***

Saat saya membuka mata, beberapa orang berkulit dekil, rambut acak-acakan, bau tubuh menyengat, berdiri di hadapan saya. Mereka memamerkan gigi-gigi mereka yang kotor. Saya berteriak. Meronta-ronta. Mereka beranjak pergi membungkuk-bungkuk sambil tertawa dengan gaya berjalan seperti robot. Rupanya tangan dan kaki saya masih terikat, tapi sekarang saya berada dalam ruangan yang pengap dengan orang-orang aneh di dalamnya. Saya bersama mereka – orang-orang gila? Oh, tidak! Saya terus meronta. Sia-sia. Tak ada yang peduli. Tubuh saya lemah sekali.

Rasanya siang sudah begitu sempurna. Tampak beberapa perawat dibantu tiga orang berpakaian hitam-hitam sedang mempersiapkan makan siang. Melalui pintu jeruji besi, saya melihat sudah ada tiga buah ember di atas lantai dekat pintu. Satu berisi nasi. Satu gulai ikan. Satunya lagi air putih.

Mereka mulai menceduknya satu per satu. Lalu menaruhnya dalam piring plastik. Nasi, ikan, dan kuahnya dicampur. Air pun diceduk dengan gelas-gelas plastik. Ketiga orang berpakaian hitam-hitam itu melakukannya dengan cekatan. Sepertinya mereka sudah terbiasa dengan pekerjaannya itu. Namun, raut wajah mereka tampak kusut kusam seperti orang-orang yang baru sembuh dari penyakit kronis. Sebatang rokok terjepit di antara kedua bibir mereka. Pipi-pipi mereka tampak kurus menceruk.

Beberapa orang di dalam ruangan – berpakaian biru-biru – sudah berdesakan di depan pintu. Tangan-tangan mereka menjulur-julur keluar. Porsi makanan itupun mulai dibagikan. Mereka berebutan. Tertawa cekikikan saat mendapatkannya. Ah, melihat makanan itu saya teringat umpan bebek-bebek saya di rumah.

Saya masih terikat. Saya lapar sekali. Tapi selera makan saya punah sirna dengan pemandangan itu. Mau muntah rasanya. Tetapi, mereka makan dengan lahapnya.

Para perawat itu benar-benar tidak memberi saya makan. Tidak apa-apa. Dikasihnya pun saya pasti tidak akan menyentuhnya.

Menjelang sore, tubuh saya terasa lebih bertenaga. Tidak ada bayangan dan bisikan makhluk planet kali ini. Lagipula, saya senang sekali karena pada sore ini beberapa teman saya datang membezuk.

Teman-teman saya meminta perawat untuk melepaskan ikatan saya. Mereka menjamin saya tidak akan agresif lagi. Salah seorang teman saya mengedipkan matanya ke arah saya. Setelah ikatan dibuka, saya langsung menyongsong teman-teman di jendela jeruji besi. Saya girang. Mereka membawa beberapa bungkus roti, air meneral, sejumlah pil besar, dan sebuah buku catatan serta pulpen. Mereka bilang, pil ini akan membuat saya tahan lapar. Mereka juga bilang bahwa tadi saya disuntik diazepam satu ampul, yang membuat saya tertidur lebih dari satu jam. Mereka berharap saya betah di tempat ini. Tapi, bagaimana mau betah, baunya menyegat sekali. Khas. Mungkin inilah bau orang gila, pikir saya.

Walaupun di dalam ruangan besar ini ada kamar mandinya. Tapi saya tidak akan mandi di dalamnya karena tadi saya melihat beberapa orang mencemplungkan diri ke dalam bak mandi. Air dalam bak juga tampak keruh berbusa.

Menjelang malam. Suasana menjadi lain. Orang-orang mulai berteriak-teriak. Mereka menjadi agresif, hiperaktif. Menguncang-guncang pintu jeruji besi, hingga membuatnya berdentang-dentang menggetarkan gendang telinga. Mereka berlari-lari di dalam ruangan, meraung-raung bagai serigala terkena panah. Saya duduk di sudut ruangan. Dari situ saya dapat melihat para perawat sedang menyiapkan obat. Menaruhnya dalam baki papan bersekat-sekat kecil. Obat-obat itu ada yang putih, kuning, biru, dan pink. Tampaknya obat-obat itu akan dibagikan sekarang. Mereka kian agresif.

Perawat mulai mendekati pintu. Orang-orang di dalam ruangan seperti diaba-aba berdiri terpacak. Lalu, salah seorang perawat membuka pintu jeruji. Tiga lainnya menyusul dari belakang membawa obat. Pada saat yang sama, orang-orang di dalam ruangan mulai bergerak, dan tiba-tiba mereka berdesakan menerobos keluar. Mendorong-dorong tubuh perawat yang membuka pintu. Perawat itu terjatuh. Pada saat itulah saya melihat tiga perawat tadi mengoper baki-baki obat itu kepada orang berpakaian hitam-hitam, yang sepertinya selalu siaga di dekat mereka. Lalu, dengan cepat mereka menendang dan memukul-mukul orang-orang itu. Tanpa ampun mereka menendang, meninju, menyikut, dan membentak orang-orang itu. Sekarang orang-orang itu terdiam, terpacak mematung di tempatnya dan tanpa diperintah mereka langsung menjulur tangan ke depan serupa peminta-minta. Obat pun dibagikan. Tak ada yang menolak. Saya bangkit, dan mengambil bagian saya. Saat jauh dari mereka saya masukkan obat-obat itu ke dalam saku celana.

Saya membatin. Kenapa mereka tega memperlakukan teman-teman seruangan saya seperti itu. Bukankah mereka juga manusia? Mereka bukan binatang jalang, dari kumpulannya terbuang*). Mereka juga dapat merasakan sakit. Jiwa mereka sudah cukup menderita, kenapa fisiknya juga harus didera. Apakah lantaran mereka kurang waras, lantas diperlakukan seperti itu? Di mana hati nurani. Di mana nilai-nilai kemanusian. Saya jadi bimbang, sebenarnya siapa yang gila.

Saya melihat salah seorang dari mereka terhuyung-huyung, lalu roboh tak berkutik di dekat kaki belakang dipan saya. Suasana hening seketika. Para perawat itu kelihatannya tak peduli. Baru setelah beberapa puluh menit kemudian mereka masuk dan membereskan jenazah itu.

Tiga hari kemudian, tanpa ampun mereka menendang, meninju, menyikut, dan membentak orang-orang itu. Kali ini tidak ada yang roboh. Tapi, ada beberapa terhuyung-huyung serupa pemabuk. Suasana hening.

Dua minggu saya di sini, sudah tiga yang roboh. Seperti biasa, suasana pun hening seketika. Dan obat pun dibagi-bagikan. Saya ambil bagian saya, saat tak terlihat mereka saya memasukkannya ke dalam saku celana. Ritual ini terjadi tiga kali sehari. Waktu saku sudah penuh, obat-obat itu saya titip kepada teman saya yang datang setiap dua hari sekali.

Suatu kali, para perawat berusaha mencabik acak rambut gondrong saya karena saya menunjukkan sikap agresif dan bikin gaduh-gelisah. Untungnya tak dinyana datang seorang dokter untuk memeriksa keadaan kami.

***

Saya menceritakan teman-teman saya peristiwa yang kerap terjadi di tempat ini. Saya merekam semua adegan itu. Saya bilang, saya tidak sanggup lagi tinggal di sini. Lidah saya kelu. Hati saya terenyuh. Jiwa saya meronta. Amarah saya mendesak-desak ingin muncrat melumuri wajah perawat-perawat itu. Tak ada cinta kasih di sini. Yang ada hanya maut yang mengitari ubun-ubun kami. Maut yang datang dari kepalan tangan orang-orang yang seyogianya merawat kami. Dan adegan-adegan itu selalu terjadi saat keempat perawat itu kena giliran jaga.

Selama ini, kerap kali surat kabar memberitakan orang-orang yang roboh tak berkutik tak bernyawa itu. Banyak lebam biru kemerahan di beberapa bagian tubuh mereka. Kadang-kadang lidah mereka terjulur keluar, air liur meleleh di sudut-sudut bibir mereka. Air mani pun kadang keluar dengan sendirinya. Otopsi selalu menemukan resapan darah pada bagian dalam kulit kepala atau leher mereka. Ujung-ujung jari tangan mereka membiru. Juga sering ditemukan jejas-jejas trauma tumpul di sekujur tubuh mereka. Bintik-bintik perdarahan pada organ-organ dalam juga adakalanya dijumpai. Tanda-tanda asfiksia begitu kentara.

Saat ditelusuri dan dimintai keterangan oleh wartawan atau polisi, keempat perawat itu selalu menjawab dengan “Mereka saling berkelahi, saling pukul, mereka sangat agresif, ya akibatnya seperti itu. Kami saja kualahan melerainya”, atau “Mereka mengantukkan kepala sendiri ke dinding, itu sering sekali terjadi”, atau “Mereka sulit diatur saat kita beri obat, mereka lari-lari dan terjatuh, kadang kepala mereka membentur kaki tempat tidur.” “Ada juga yang dipukul keroyokan oleh teman-temannya sendiri yang lagi agresif”.

Saat polisi atau wartawan bertanya pada orang-orang di dalam ruangan ini, mereka selalu mengaku dipukuli keempat perawat tersebut. Tapi saat dicross-check kepada keempat perawat itu, dengan santai mereka menjawab “Mereka kan orang-orang gila, Bang.”

Pada sore itu, saya dikeluarkan dari bilik jeruji besi itu oleh seorang perwira polisi yang waktu itu turut mengantar saya ke sini. Sambil tertawa saya pun beranjak membawa bau khas menyengat yang lengket di badan dan jiwa saya.

Keempat perawat itu digelandang ke kantor polisi.***

Medan, 7 Juli 2005

Catatan:
*) “Binatang jalang, dari kumpulannya terbuang”, kutipan dari puisi “Aku” karya Chairil Anwar.
Asfiksia : Keadaan kurangnya oksigen di dalam darah atau jaringan tubuh akibat gangguan pada pernafasan sehingga kehidupan tidak mungkin berlanjut.

Cerpen ini telah dimuat Harian Aceh, September 2007

Tidak ada komentar: