Rabu, 16 April 2008

OPINI: Membaca Memperkaya Jiwa

Oleh Abdul Razak M.H. Pulo

Siapa pun yang terhibur dengan buku-buku, kebahagiaan tak akan sirna dari dirinya
[Ali bin Abi Thalib]


Membaca itu memperkaya jiwa, tapi kenapa kita terlalu malas untuk membaca. Sebenarnya, kita bisa membaca apa saja, apa itu koran, majalah, novel, kumpulan cerpen, ensiklopedia, dll. Kita bisa memulainya dengan membaca buku-buku yang kita sukai, kalau memang belum sanggup membaca buku-buku filsafat – yang kabarnya berat. Membaca itu membuat kita seolah-olah sedang berbicara dengan pengarangnya yang hebat-hebat itu. Membaca itu ibarat mendengar kuliah dari berbagai penulis dunia terkenal. Penulis adalah “guru” kita. Kita membayangkan dia sedang bercakap-cakap dengan kita dalam bukunya.

Tak ada seorang pun di dunia ini yang tak mengharapkan kebaha-giaan dan kekayaan menari-nari becengkrama dengannya dalam kehidupan-nya. Kekayaan di sini bukan berarti kaya akan materil saja, tetapi juga kaya akan jiwa. Yang salah satunya bisa kita peroleh melalui membaca.

Lantas bagaimana membaca itu bisa memperkaya jiwa? Dewi adalah seorang yang gemar membaca; membaca apa saja, di mana saja. Dalam pergaulan ia akan tampak berbeda dari teman-temannya. Komunikasinya lancar, dan bahasanya enak didengar. Pengetahuannya luas. Soal informasi ia terdepan. Bicaranya berisi. Ia akan tampak lebih dewasa daripada umurnya, bahkan terkadang dari mulutnya meluncur kalimat-kalimat filosofis yang membuat teman-temannya tercengang. Kalimat-kalimat itu, bisa jadi, terangkai begitu saja, yang merupakan intisari dari berbagai hal yang pernah ia baca. Ia tahu lebih mendetil tentang banyak hal, sehingga saat ia berbicara teman-teman di sekitarnya mendapatkan sesuatu yang baru, sesuatu yang lebih lengkap darinya. Ia pembicara yang baik. Ia cerdas dan berwawasan luas. Teman-temannya memujinya. Ia senang. Ia bahagia dan percaya diri. Ini akan menjauhnya dari stress. Jiwanya kaya. Jiwanya bahagia.

Sayangnya, banyak di antara kita malas membaca. Ini kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Terkadang koran pun, semisal Serambi Indonesia, jarang kita sentuh. Kenapa di dalam robur Darussalam – Kota kita tidak membaca kumpulan cerpen, tapi hanya melirik kiri kanan, atau hanya menatap ke depan melihat fatamogana di jalan-jalan penuh debu paska tsunami? Kenapa dalam bus atau L-300 Banda Aceh – Bireuen penumpang tidak membaca novel, tapi mengisap rokok. Kenapa di halaman kampus yang berpohon rindang sambil minum teh botol, dengan angin sepoi yang menggoda jiwa mahasiswa tidak membaca buku teks kuliah tapi main catur? Kenapa di kapal Pulo Rondo dari Ulee Lheu – Balohan Sabang penumpang tidak membaca antologi puisi, tapi hanya memandang riak-riak air bergelombang sambil duduk diam membisu, padahal kalau membaca sebuah buku akan makin asyik karena di dalam kapal tersebut mengalun musik dari lagu-lagu yang lagi ngetop. Kenapa di ruang tunggu dokter spesialis di Cempaka Lima, misalnya, pengantar pasien tidak membaca kumpulan cerpen islami tapi asyik kirim-baca sms?

Kemalasan kita ini, membuat otak kita mandek, dingin dan beku bagai batu gunung. Tak ada informasi baru yang masuk ke dalam kepala kita, selain yang kita dengar atau tonton dari tv. Padahal menurut Frank Gruber, 1944 “buku adalah benda luar biasa. Buku itu seperti taman indah penuh dengan bunga aneka-warna, Seperti permadani terbang. Yang sanggup melayangkan kita. Ke negeri-negeri tak dikenal sebelumnya”. Buku adalah sumber nutrisi otak.

Membaca buku-buku sastra sejak dini akan menanamkan rasa ketagihan membaca buku, yang berlangsung sampai seseorang menjadi dewasa. Rosihan Anwar (kini 83) tetap membaca 2 buku seminggu. Buku apa saja. "Jiwa saya merasa haus kalau saya tak baca buku," kata beliau. (Taufik Ismail)

Di kampus kami, Fakultas Kedokteran, berlaku doktrin “membaca itu bukan hobi, tapi kewajiban”. Membaca 1 hingga 3 buku seminggu tanpa memperhatikan ketebalannya, merupakan prestasi yang sangat baik.

Mari kita membaca, siapa tahu kita juga akan gemar menulis. Karena membaca dan menulis adalah pasangan paling romantis di dunia. Dan menulis akan memperkaya raga. Ingin kaya jiwa-raga? Membaca dan menulislah.

“Betapa indahnya jika tulisan kita kelak dibaca, diperbincangkan, dan diapresiasi oleh banyak orang, bahkan kadang ditanggapi dan diperdebatkan oleh beberapa penulis lainnya. Betapa indahnya jika kita mendapat sejumlah honorarium yang lumayan sebagai imbalan tulisan kita yang dimuat tersebut”. Sebut M. Arief Hakim dalam bukunya Kiat Menulis Artikel di Media.***

Banda Aceh, November 2006

Tidak ada komentar: