Rabu, 16 April 2008

OPINI: Dan Damailah di Nanggroe

Oleh Abdul Razak M.H. Pulo

Konflik puluhan tahun mereda. Tsunami menerjang membawa air hitam pekat, kemudian diikuti datangnya angin takdir pembawa perdamaian. Ia berhembus dari Helsinki dengan aroma sejuk salju. Perdamaian yang diperoleh dalam balutan salju itu memutihkan hati merah pekat yang digerogoti dendam turun temurun. Sungguh mengesankan kedua peristiwa terkait tersebut. Dan keduanya mutlak murni misteri rahasia Tuhan. Siapa nyangka, dibalik gelombang hitam tsunami, tersembunyi pesan damai seputih salju.

Begitu pedihnya konflik. Semua kita menentang ia kembali. Begitu perih kita berpisah paksa dengan dengan orang-orang yang kita cintai. Begitu kejamnya perang. Hancurkan berbagai sisi kehidupan. Kini, konflik dan perang, tak ada lagi tempat di hati masyarakat Aceh.

Menurut Karl May semua kesalahan harus diperbaiki, semua utang harus dibayar sampai lunas, begitulah keadilan yang digariskan Tuhan. Hukum yang berkesan keras namun sekaligus pemurah ini berlaku untuk keseluruhan bangsa maupun untuk masing-masing orang, dan mereka yang luput dari masa sekarang patutlah khawatir akan masa depan. Dan tak boleh lupa akan kekuatan dari saling memaafkan. Cinta itu hadir dari jiwa yang merdeka.

Hidup damai idaman lama rakyat Aceh. Bebas bergerak ke mana kaki melangkah. Mencari rezeki, mengolah ladang, kebun, yang sebelumnya ditelantarkan. Tak lagi was-was dalam perjalanan, yang dulunya, selalu dihantui dengan razia di sepanjang jalan. KTP tak ada, nyawa melayang. Belum lagi, denyut jantung selalu meningkat tatkala mendengar rentetan tembakan. Bahkan ban mobil meledak pun disangka bom, lalu diikuti rentetan tembakan kaget. Tiba-tiba suasana menjadi panas. Api bergelora. Rumah dan toko hangus. Beberapa orang mati tertembak kemudian. Perasaan kita tak pernah bebas, ansietas menjadi penyakit massal. Dan kini, damai abadi sudah di depan mata. Jangan biarkan ia pergi lagi.

Peristiwa tsunami dan disusul perdamaian ini juga telah membuka tabir Aceh ke dunia internasional. Orang dari berbagai belahan dunia, sudah bisa datang ke Aceh. Kini Aceh ibarat sebuah dunia kecil. Berkumpulnya berbagai bangsa. Banyak sekali hal positif yang dapat dipetik masyarakat Aceh.

Dalam berbagai segi kehidupan, kita berharap akan semakin maju, mengejar ketertinggalan. Kita semakin terbiasa dengan bahasa Inggris. Fakultas kedokteran Unsyiah, misalnya, sudah menjalin kerja sama dengan salah satu universitas di Jerman. Saat ini pun ada seorang mahasiswi Jerman yang sedang melakukan penelitian di sini. Sebentuk kerjasama, yang harus dimanfaatkan baik-baik.

Pada suatu hari awal Maret, saya dan teman Jerman itu menuju Ulee Lheu, ingin menikmati suasana sore di pinggir pantai. Tapi sayang cuaca saat itu mendung. Tepat berada di ujung jembatan Ulee Lheu, saya katakan padanya, di sini Karl May pernah singgah. Karl May si penulis kisah petualangan dan perdamaian melalui tokoh-tokohnya seperti Winnetou si Kepala Suku Indian Apache, Kara Ben Nemsi, dan Old Shutterhand itu menumpangi kapal Yin, yang juga ditemani dokter Tsi dari tiongkok, serta seorang misionaris dari Amerika bersama putrinya. Teman saya itu begitu kaget mendengar hal yang belum diketahuinya meski ia telah melahap buku-buku Karl May. Lalu saya katakan padanya “Ada percikan Karl pada dirimu”. Dalam suasana mendung, di kawasan yang sangat parah diterjang tsunami itu, tiba-tiba muncul sebuah garis dari langit di tengah lautan, disertai turunnya hujan.

Teman Jerman saya nyelutuk “hei... dan langit pun berdamai dengan bumi melalui sebuah garis misterius”. Karena kami tidak pernah melihat fenomena alam seperti itu sebelumnya, di antara takut dan penasaran, kami berusaha tetap bertahan di sebuah warung pinggir pantai. Saya mengilustrasikan “garis damai” tersebut di atas secarik kertas: Dari gumpal hitam awan. Entah itu air entah angin, turun gulung berputar. Menusuk pori laut Ule Lhee. Percikkan air putih berbuih. Bagaikan bor, dekati sebuah boat. Ia terus berjalan menuju pantai. Makin lama makin besar. Besar di atas mengecil ke bawah. Bentuknya bagai naga menghujam lautan. Untuk menyapa leluluhurnya yang telah lelap ratusan tahun di perut samudra. Langit rupanya sedang berdamai dengan lautan melalui sebuah garis misterius.

Dan ternyata malam harinya berdengung isu adanya tornado di kawasan Ulee Lheu, hingga banyak penduduk di kawasan Lampaseh Kota berhamburan ke Masjid Raya.

Dalam damai ini, kita bisa bersosialisasi dengan berbagai bangsa di dunia, yang kebetulan kini sedang membanjiri ranah Serambi Mekkah. Kita dapat pelajaran. Kita dapat ilmu. Tentu budaya kita tidak boleh terkikis budaya mereka. Mengambil nilai positif dari apapun yang kita temui atau alami, adalah sikap bijak yang perlu diasah oleh setiap generasi Aceh.

Mengingat tak ada satu bangsa pun lebih unggul dari bangsa lainnya. Juga tak ada satu suku lebih unggul dari suku lainnya. Setiap insan itu ciptaan Tuhan. Satu hal yang pasti, setiap orang itu punya kelebihan masing-masing. Dan sebagai orang bijak, kita patut belajar sesuatu dari setiap orang yang kita temui. Setiap suku, ras, dan bangsa pun harus melihat yang lainnya untuk menghindari kesalahannya dan mencontoh kebaikannya. Dengan melakukan hal itu, kita mengakui kesalahan kita di hadapan seluruh umat manusia, dan melalui pengampunannya kita memperoleh kekuatan lahir dan batin untuk membalik kekurangan kita menjadi kelebihan.

Saat ini kita sedang menanti lahirnya UU-PA yang aspiratif. Undang-undang yang akan menjadi jalan keluar dari mencairnya pemberontakan menjadi kerjasama yang apik membangun bangsa. Ada keyakinan besar dalam diri saya bahwa pemerintah kali ini tidak akan mengulangi kecorobohan pemerintah masa lalu – yang entah sengaja atau tidak – selalu mengingkari janjinya kepada rakyat Aceh.

Namun, kita masih saja tetap khawatir mengingat masih ada pihak-pihak yang mencurigai RUU-PA. Kita khawatir RUU-PA itu akan dipreteli hingga tak lagi sesuai aspirasi rakyat Aceh. Rakyat Aceh sudah cukup kecewa dan menderita oleh berbagai sebab. Kekecewaan akan menciptakan kenekatan. Semakin dalam suatu kekecewaan, semakin berujung ia pada pemberontakan.

Betapa sejuknya hati kita bila mendengar ucapan seperti kata Pimpinan MPR Hidayat Nur Wahid pada diskusi Muswil-I DPW PKS NAD “Bila dilihat pasal demi pasal, yang tercantum dalam RUU-PA, maka seluruhnya akan bermuara pada kesejahteraan masyarakat Aceh dan tidak ada satu butir pasal pun yang bertentangan dari institusi negara kesatuan RI” (Medan Bisnis, 1 April 2006).

Orang aceh itu sangat fleksibel dan terbuka. Bahkan Karl May, seorang penulis asal Jerman yang pernah singgah di Kota Radscha (baca : Kota Radja), dalam bukunya Und Friede Auf Erden melalui Tokoh Sir John, melukiskan orang melayu Atjeh sebagai orang terbaik di dunia, gagah, cerdas, bertenggang-rasa, pemaaf, tidak egois, adil, dan terutama ramah. Namun, melalui tokoh Pemuka Adat, Karl May menyeimbangkan pujian tersebut “Di sini sama saja seperti di negeri Anda: kenistaan melawan kemuliaan, satu orang cenderung ke sini, satu orang cenderung ke sana, dan hanya melalui perbuatan nyata, bukan dengan kata-kata indah, secara lambat laun segala sesuatu dapat diangkat dari keterpurukan”. Mungkin hal-hal seperti ini yang tidak disadari oleh ‘orang-orang Jakarta’.

Karena harapan itu selalu ada, kekhawatiran bisa jadi berkurang. Harapan itu bagai seekor burung yang bertengger di dalam jiwa, yang mendendangkan lagu tanpa syair dan tidak pernah berhenti sama sekali, seperti dilukiskan Emily Dickinson penyair Inggris.

Kesamaan denyut kemanusiaan yang memukau di Aceh saat ini harus dipelihara baik-baik. Saya yakin, semua pihak akan bersatu pakat memelihara dan melanggengkan perdamaian ini layaknya sebuah kisah cinta sejati. Dan damai di Aceh akan abadi, melalui sebuah “garis damai” dari langit.***

Februari 2007
Tulisan ini Dimuat Harian RajaPost, Maret 2007

Tidak ada komentar: