Kamis, 17 April 2008

CERPEN: Insting Mati

Oleh : Abdul Razak. M.H. Pulo

Ada banyak gading dan kulit loreng berserakan, di bawah rimbun dedaunan hutan yang mencekung bagai payung. Lengkung itu dipagari batang-batang pohon seukuran paha pria dewasa. Gading dan kulit loreng yang masih utuh tak tersentuh – bagai gadis perawan. Tak kepalang kagetnya Dimas. Tapi bukankah itu barang-barang berharga peninggalan binatang. Itu harta karun yang bertumpuk-tumpuk. Gading itu mengkilap. Kulit itu bersih. Kaki Dimas bagai lengket dengan tanah, heran ia kenapa bisa sampai ke tempat itu.

Perlahan melangkah ia di dalam lengkung ajaib itu. Menyentuh sepotong gading, yang kelihatannya baru saja terlepas dari kepala gajah pemiliknya. Aneh, udara di dalam lengkung itu tak bau bangkai, padahal puluhan jasad macan dan gajah, yang baru dan yang lama, bertumpuk-tumpuk di sina. Coba ia angkat gading itu. Tiba-tiba alam sekitarnya seperti ada bayangan air, bagai fatamorgana.

Seluruhnya, gading-gading itu berdetak-detak. Gelegar petir getarkan bumi. Serta-merta ia lepaskan gading itu. Cepat-cepat ia berlari keluar. Angin begitu kencang, petir kian menyambar. Berlari ia ke arah kemah sekencang-kencangnya. Degup jantungnya menggebu-gebu. Teman-temannya harap-harap cemas menunggu kembalinya Dimas ke kemah.

“Hei Mas, darimana saja kau. Sudah tiga hari kami mencari-carimu. Kami hampir putas asa tahu?” Keluh Hartono

“Apa? Tiga hari mencari-cariku, gila…. lima menit lalu aku di sana” jari Dimas menunjuk-nunjuk ke arah rerimbunan hutan.

“Apa katamu, lima menit? Dan kau bilang di rerimbunan itu? Eh Mas, kau tahu sudah kami jelajahi seluruh puncak Leuser ini. Sudah kami telusuri sungai-sungai itu. Sudah kami masuki gua-gua itu. Kau tak ada Mas. Tak ada. Kau sembunyi di mana sih, apa maksudmu?” Sambut Ningsih. Yang lain hanya diam.

Dimas membisu. “Apa benar mereka sudah tiga hari mencariku. Aneh, apa gerangan yang tengah terjadi”, pikir Dimas

Hujan reda di kala senja mulai membentangkan sayap-sayap keemasannya. Bola api raksasa tampak hanya separuh di batas terjauh Samudra Hindia. Lalu menyusup hingga hilang di kedalaman samudra.

Kelima petualang itu duduk melingkari api unggun yang dibuat dengan sisa-sisa kayu kering. Bintang langit mulai menampakkan wujudnya satu per satu. Venus tampak yang paling terang, meski ia bukan bintang.

“Mas, kami ingin tahu kemana saja kau selama ini” Anto angkat suara

Dimas benar-benar syok. Tatapan matanya kosong

“Aku tak berani mengungkapkan yang aku alami tadi. Benar-benar aneh, seperti dalam mimpi.”

“Ayo Mas, cerita saja jangan ragu. Kami pasti percaya, kok” Desak Ayu

Dimas membalikkan badannya. “Ups!, hahh.. Kemana rimbunan itu!!?”

Semua mata tertuju ke arah yang dimaksudkan Dimas. Semua mereka kaget.

Malam itu mereka tak bisa tidur sekejap pun setelah Dimas menceritakan semua yang telah dialaminya di dalam lengkung ajaib itu – lengkung kasatmata.

Keesokan harinya mereka memutuskan untuk segera turun. Benak mereka masih menyimpan sejuta tanya. Dalam perjalanan mereka lebih banyak diam.

Tiba di sebuah perkampungan di lereng gunung. Mereka berjumpa dengan seorang kakek sedang duduk di bawah pohon di pinggir jalan setapak, menghisap rokok daun nipah.

“Assalamulaikumm….” Sapa mereka

“Waalaikum salamm..”

Kakek itu menatap Dimas lekat-lekat layaknya ada seribu tanya yang terpancar di wajah Dimas. Disentilnya rokok di tangannya, jatuh ke dalam geuleupak berisi air hujan.

“Kalian dari puncak?” Tanya Kakek itu tiba-tiba

“Iya” jawab mereka serentak

“Kenapa wajah-wajah kalian tampak tegang. Apa di sana keadaannya tak enak?” Tanya sang Kakek seolah mengetahui isi pikiran mereka

Dimas tampak linglung. Yang lain saling pandang.

Kakek itu terkekeh. “Ayo kita bincang-bincang sejenak di atas rangkang sana” Jari Kakek Banta menunjuk ke arah sebuah pondok.

Kakek Banta berjalan tergopoh-gopoh. Kopiah yang dikenakannya sebagian sudah coklat kekuningan. Dalam kantong bajunya tampak seikat rokok daun nipah dan sejumput bakung di dalam plastik kecil yang sudah kusam. Usianya sudah cukup renta, kira-kira delapan-puluhan tahun, tapi masih kuat dan tampak sehat. Sesekali ia batuk, mungkin karena ia suka merokok. Tubuhnya agak bungkuk selain dimakan usia, mungkin juga karena terlalu berat menahan beban hidup, namun masih tetap tegar bagai Leuser yang menjulang menatap angkasa.

“Apa itu rangkang, kek?” Tanya Hartono

“Oho.. rangkang itu pondok yang dibuat berbentuk panggung dan dindingnya tidak penuh. Biasanya rangkang itu dibuat di sawah-sawah untuk tempat beristirahat sambil menghalau burung pemakan padi. Tapi rangkang juga bisa dibuat di ladang atau kebun. Inilah, rangkang”

Sebuah rangkang yang terbuat dari kayu dan bambu itu berdiri kokoh diapit dua pohon meranti. Ilalang menggeliat pelan diterpa angin. Beberapa ulat tampak tengah merayap di ujung-ujung ilalang. Seekor belalang meloncat ke atas belukar ketika seekor kodok mendekatinya. Angin di kaki Leuser terasa dingin menusuk pori.

Kami naik keatas rangkang. Kami duduk bersila setengah lingkaran menghadap sang kakek.

“Apakah kalian ada berjumpa dengan binatang-binatang penghuni Leuser?” Tanya Kakek Banta

“Banyak Kek. Ada harimau, gajah, rusa, orang utan, berbagai jenis burung, dan masih banyak lagi, Kek” Jawab Ningsih

“Terus ada juga berbagai jenis ular, dan ….” Dimas diam sejenak “Engg… saya ada melihat kuburan binatang, Kek.”

Kakek Banta tampak manggut-manggut, dan senyumnya menampakkan gusi tanpa gigi yang merah kehitam-hitaman.

Kakek itu mulai bercerita. “Tahukah kalian, setiap binatang itu selalu punya naluri ketika ia mau mati. Biasanya mereka akan mencari tempat di mana leluhur-leluhurnya mati. Mereka punya tempat khusus, ke sana lah mereka akan berkumpul bila mereka ingin mati. Bukankah jarang sekali kita dapat melihat binatang yang mati wajar, misalnya karena umur yang sudah uzur. Kita memang bisa melihat jasad mereka bila dibunuh pemburu atau dibunuh pemangsanya.

Dimas sangat antusias dan penasaran. “Jadi orang yang masuk ke dalam itu bagaimana, Kek?"

“Hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk ke dalam tempat itu. Biasanya tempat untuk mati itu berbentuk lengkung yang dipagari pohon-pohon, ukurannya macam-macam tergantung jenis binatang yang akan mati di dalamnya. Orang-orang tertentu itu biasanya tak sengaja masuk ke tempat itu. Tampak seperti ada pintu di antara pohon-pohon yang memagarinya. Tempat itu seperti di dunia lain.”

Masih jelas terbayang di benak Dimas betapa pada saat itu tiba-tiba ia seperti menembus tirai jaring laba-laba, dan tak dinyana ia sudah berada dalam cekungan rimbun dedaunan hutan. Di dalam itu sunyi, tak terdengar suara apapun, selain suara nafasnya sendiri. Cuacanya tak dingin tak panas, dan terang. Aneh, padahal tak ada cahaya matahari yang masuk.

“Maksud Kakek, orang tertentu itu orang-orang pilihan?” Tanya Ayu

“Orang itu adalah yang tidak pernah lupa kepada Tuhannya, dan punya pikiran yang bersih dan niat yang selalu baik. Namun pada saat berada di dalam itu, ia tidak boleh menyentuh apapun, apalagi mengambilnya. Itu adalah pantangan yang utama, bila tidak, sulit diramal apa yang mungkin bakal terjadi dalam kehidupan orang itu sesudahnya, bisa lebih baik, bisa lebih buruk”

Dimas tersentak. Tubuhnya gemetar. Ada rasa takut luar biasanya yang merambahi tubuhnya.

Kakek Banta bukanlah anak kecil yang belum tahu banyak hal. Hidupnya sudah ditempa dengan berbagai pengalaman – pahit maupun manis. Kakek itu langsung tahu bahwa Dimas telah melanggar pantangannya.

“Sudahlah nak, kamu jangan takut. Berdoalah semoga hidupmu akan lebih baik” Ucapan bijak Kakek Banta berusaha menenangkan Dimas.

“Tahukah kalian, Orang-orang di kampung ini, pada saatnya, juga merasakan kapan mereka akan mati. Mereka juga punya naluri mati. Sebagian orang kampung ini pada saat mendengar ledakan-ledakan, letusan-letusan, mereka segera mempunyai naluri mati. Setelah itu, mereka akan segera berkumpul pada sebuah tempat. Mereka semua menuju ke sana. Biasanya naluri mereka jarang yang salah. Mereka berkumpul di sana. Meratap di sana. Bedoa di sana. Sedang ledakan-ledakan kian membahana. Letusan-letusan kian mendekat. Mereka terus berdoa semoga mereka terbebas dari dosa, bila mereka akan mati pada hari itu. Ada yang mati wajar, ada yang tidak. Bisa kena api, atau kena timah. Bisa kena otot atau kena besi. Banyak penyebabnya, termasuk juga penyakit. Namun mereka sudah punya naluri lebih dahulu, layaknya harimau dan gajah itu.”

“Dan anehnya lagi” sambung sang kakek, “Tempat berkumpul untuk mati itu juga tak banyak yang tahu. Hanya satu-dua orang saja. Itupun ia tak berani buka mulut. Tak berani bersuara, karena ia melihat keanehan – sesuatu yang tak terjangkau akal sehat. Hanya disimpan dalam hatinya yang terluka - yang terenyuh. Orang itu melihat fatamorgana juga, berair, ya air mata. Pada saat ia berusaha memberi tahu kepada orang lain. Segera pula hujan deras turun dan petir menyambar-nyambar. Dan menjadi pertanda kurang baik baginya. Itulah sebabnya mereka memilih diam. Diam dan hanya diam.”

Mereka terkagum-kagum dengan cara pengungkapan kakek ini. Ia tentu bukan orang sembarangan – berwawasan dan cerdas, pikir mereka.

“Aku juga pernah punya naluri seperti itu. Namun, kala itu naluriku salah. Aku masih bisa hidup hingga sekarang. Namun biasanya naluri tidak akan salah pada saat datang untuk kedua kalinya” Tambah sang kakek

“Sekedar kalian tahu, kami adalah raja di kampung sendiri. Kami semua raja seperti macan-macan dan gajah-gajah itu. Mereka raja rimba, kami raja kampung. Cuma itu bedanya”

Suasana hening.

Dari kejauhan sayup-sayup terdengar letupan-letupan bagai jagung meletup. Bukan, bukan letupan jagung. Suara itu jauh lebih keras dan berentet.

Kakek Banta diam. Ia memejamkan mata. Apakah ia sedang ber-insting mati? Kelima pecinta alam itu tak merasakan apa-apa, tak juga berinsting apapun. Mereka turun dari rangkang, dan terus berjalan ke kampung seberang sambil berbicara dalam bahasa mereka sendiri.

Hujan turun. Petir menyambar-nyambar. Dimas jadi saksi di pengadilan atas kematian tak wajar - yang diawali naluri mati - di kampung Kakek Banta

Banda Aceh, 12 Juni 2004

Cerpen ini telah dimuat di Majalah Annida, Februari 2005. Saya mengirimkan cerpen ini ke Annida via email pada tanggal 24 Desember 2004, tepat 2 hari sebelum tsunami..