Selasa, 15 April 2008

CERPEN: Kura-Kura dan Perempuan Hamil

Oleh Abdul Razak M.H. Pulo

Semalaman hujan turun lebat menyusui puas dahaga tanah kerontang. Hujan semalam juga surga bagi tumbuhan. Sungai-sungai meluap. Sawah-sawah di kaki gunung tergenang. Halimun selimuti bukit-bukit. Juga rumah Amir kuyup basah seperti baru bebas dari banjir bandang yang sudah surut. Rumah yang diapit dua pohon meranti besar itu terbuat dari kayu dengan atap daun rumbia. Sebuah rumah sederhana yang berada di punggung bukit paling rendah di kawasan perbukitan Paya Langet. Di rumah itulah Amir dan istrinya, Faridah, tinggal sejak lebih kurang enam bulan yang lalu.

“Bang, hujan sudah turun. Kita bisa mulai menanam kacang kuning lagi.”

“Iya, kita harus bersyukur, lagipula aku sudah selesai membajak ladang kita. Tanahnya pasti gembur dan kita bisa menanaminya segera”

Berkas cahaya berpendar menyusup ke dalam titik-titik air hujan yang menggantung di ujung-ujung daun, ilalang, dan rumput-rumput liar. Kilau kemilau bak mutiara, bagai bintang gemintang berukuran mini. Pagi mulai ranum di kala Amir dan istrinya bersiap-siap menanam biji kacang kuning di ladang mereka, ladang yang landai di antara bukit-bukit hijau. Pada batas paling bawah ladang itu terdapat pancuran air yang segar dan jernih.

Matahari mulai menunjukkan keperkasaannya. Amir membuat lubang-lubang kecil pada tanah ladangnya menggunakan sepotong kayu yang ujungnya diruncingkan, sering disebut dengan tungkai. Jarak antar lubang-lubang tersebut kira-kira 30 cm. Istrinya mengikutinya dari belakang sambil menjatuhkan tiga-empat biji kacang kuning ke dalam lubang-lubang tersebut. Lalu ia menyorong tanah di dekat lubang untuk menimbun biji-biji tersebut dengan kaki kanannya. Cukup cekatan, sangat jarang biji-biji kacang itu terjatuh di luar lubang. Hanya satu-dua biji yang kadang-kadang meloncat keluar dari lubangnya. Kegiatan ini dalam Bahasa Aceh disebut dengan teumajok. Keringat mulai bercucuran di tubuh wanita yang sedang hamil muda tersebut.

Menjelang tengah hari, Amir telah membuat lubang pada separuh ladang. Ia berhenti, beristirahat sejenak. Lalu membantu istrinya menjatuhkan tiga-empat biji kacang kuning ke dalam lubang yang telah dibuatnya. Juga cukup cekatan.

“Bang, aku yakin kacang kita ini akan tumbuh subur, dengan panen yang berlimpah nantinya” Kata Faridah sambil menyeka keringat di dahinya.

“Yah, kita doakan saja. Ini untuk persiapan kelahiran anak pertama kita kelak” Ucap Amir seraya mengelus perut istrinya. Satu tangan lagi memegang tungkai.

Faridah tersenyum, dan berkata “Bang, meski hidup kita sederhana, aku tak ingin anak kita jadi petani seperti kita. Dia harus lebih hebat dari kita.”

“Aku mengerti perasaanmu Dah. Aku juga menaruh harapan besar pada anak yang kau kandung ini. Aku sangat yakin. Jadi jagalah kehamilanmu ini baik-baik. Kamu jangan terlampau capek.”

“Iya Bang”, Faridah merebahkan kepalanya ke dada suaminya yang kekar.

Tak jauh dari tempat mereka berdiri, sepasang burung murai bercengkrama dengan asiknya. Mereka coba hinggap di atas salah satu ranting jeruk bali, tapi belum sempat menyentuh ranting, mereka terbang lagi dan saling kejar mengejar. Menghilang di balik bukit.
Amir dan istrinya tersenyum melihat tingkah burung-burung itu, kemudian mereka kembali melanjutkan pekerjaan mereka.


***

“Bang, aku ingin sekali makan ikan lele. Dibakar. Aku ingin yang segar dan masih hidup, tapi jangan lele jumbo yang dijual di pasar itu. Aku ingin Abang menangkapnya sendiri.”

“Oya? Kamu ngidam lele ya…” Amir tertawa.

“Ah abang, orang ngidam ditertawakan. Kok gitu?”

“Sudah-sudah, jangan cemberut seperti itu. Demi kau apapun akan kulakukan”, ucap Amir sambil tersenyum.

Merah merona wajah Faridah mengulum senyum.

Amir bergegas ke belakang rumah, mengambil jala, dan memastikan jala tersebut tidak koyak.
Setelah semuanya dianggap beres, Amir melangkah menuju sungai kecil yang bermuara ke rawa Paya Langet. Sungai itu berada di balik bukit yang paling tinggi kedua.

“Jangan lupa bawa goloknya Bang”, Istrinya mengingatkan.

Faridah bergegas ke dapur, mempersiapkan bumbu dan membakar arang. Bang Amir pasti akan membawa banyak ikan lele, pikirnya.

Jalan setapak tanah liat yang dilalui Amir sangat licin. Golok disematkan di pinggangnya, sedangkan jala di atas bahunya. Terus berjalan ia. Pada suatu langkah yang kesekian, ia terpeleset dan terjatuh. Jala tersangkut pada akar pohon, yang masih mampu menahan Amir sehingga tak sampai berguling ke bawah. Ada beberapa benang jala yang terputus.
Ia kembali berjalan dengan lebih hati-hati. Tak lama kemudian ia tiba di sungai itu. Ia mencari-cari tempat yang cocok untuk mencampakkan jalanya. Ia temukan bagian sungai yang luas dan airnya keruh beberapa meter dari muaranya.

Nah, ini dia tempat yang bagus, pasti banyak lelenya, pikir Amir. Ia mengambil posisi dan melemparkan jala. Pikirannya menerawang kepada istrinya. Ia akan membawa pulang lele yang gemuk-gemuk, berminyak-minyak bila dibakar, gurih bila digoreng.
Ia tarik perlahan jalanya. Perlahan sekali sehingga tak terdengar riak-riak air.
Jala sudah diangkat. “Ya ampun…., lele yang kujala kau pula yang masuk. Dasar kura-kura sialan!!”.

Ia lepaskan kura-kura itu dari jalanya dengan tak sabar. Ia hunus goloknya. “Mampus kau!”. Kura-kura itu terbelah menjadi dua, bersimbah darah, sempat menggeliat sebentar. Lalu terkapar tak bernyawa.

Diambilnya bangkai itu. Dicampakkannya ke dalam sungai. Air menjadi merah darah, menganyirkan bau udara. Lintah-lintah mengeriap hilang timbul di permukaan air.
Amir tak peduli, seolah tak terjadi apa-apa. Namun gema alam yang senyap merekam kematian tak wajar itu. Air, angin, batu, pepohonan berduka. Kristal-kristal air mengerut. Angin memeluk dedaun. Bebatuan membeku. Mereka ingin Amir segera pergi dari tempat itu.
Amir beralih ke bagian sungai lebih ke atas. Lalu ia campakkan jalanya kembali. Perlahan ia tarik jalanya. Perlahan sekali sehingga tak terdengar riak-riak air.

Jala sudah diangkat. Senyumnya mengembang, “Tujuh ekor lele sekaligus!”. Ia tertawa, Pikirannya menerawang kepada istrinya. Ia akan membawa pulang lele yang gemuk-gemuk, berminyak-minyak bila dibakar, gurih bila digoreng.

Pada saat melepaskan lele yang ketujuh dari jala, jari tangan Amir dipatil. Ia mengaduh kesakitan, dan mengisap darah pada ujung jari yang dipatil itu. Segera jari telunjuknya itu membiru.


***


“Dah, aku pulang. Aku bawa tujuh lele Dah..” Amir masuk dengan perasaan gembira ke dalam rumah sambil menenteng lele yang menggeliat-geliat.

Faridah bergegas menyongsong suaminya tercinta, “Wah, besar-besar sekali”, semburat bahagia terpancar dari wajahnya dengan latar dasar berwarna sawo matang.

Dengan penuh rasa bangga Amir membawa lele-lele itu ke dapur. “Ini untukmu Dah, untuk anak kita”.

“Aduh, kenapa jari telunjukmu bang?”

“Biasa, dipatil lele. Nanti juga akan sembuh sendiri”

Sepoi angin yang merayap sepanjang dinding-dinding bukit menerobos masuk ke dapur. Jemari angin menyentuh kepulan asap dari tungku pembakaran, kemudian pecah dan menebar aroma harum ke seluruh ruangan. Harum yang membuat naluri lapar mencuat-cuat.

Pasangan yang masih ada hubungan kerabat ini melewati hari itu penuh bahagia. Menyantap lele bakar yang berminyak-minyak. Dan mereka terbang ke awan meniti warna warni pelangi hingga menjelang surya turun tenggelam dari puncak bukit yang paling tinggi. Di langit, bintang-gemintang pun mulai bertebaran. Bulan hanya tampak setengah purnama.

***

Lima bulan berlalu. Mereka telah memanen kacang kuning. Hasilnya melimpah. Harga jualnya tinggi. Mereka telah menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut kedatangan sang bayi.
Hari-hari seakan berjalan sangat lambat. Amir dan istrinya kini sudah berada di desa, di rumah ibunya Faridah, yang letaknya tidak jauh dari rumah bidan.

Malam itu pukul tiga dini hari. Faridah bertaruh nyawa dalam lumuran darah dan rintihan kesakitan. Namun baginya darah itu adalah obat bius yang paling mujarab, dan rasa sakit itu adalah kenikmatan yang tiada dua. Tiada tara .

Beberapa pasang mata yang menyaksikan kelahiran itu saling pandang. Lalu menunduk. Tak bicara sepatah kata pun. Mereka beristigfar, meneteskan air mata. Faridah tak berdaya, tak bergerak, matanya terpejam. Tangisan bayi memecah malam, padamkan simfoni jangkrik. Bidan itu menggeleng, dan berucap pelan. “Karena kehendak Allah, bayi ini lahir cacat. Kaki dan tangannya buntung…”. Bahagia telah pergi menyelinap di bawah kepakan sayap ilusi.***

Bireuen, 17 Februari 2007
Naskah ini belum pernah dimuat

Tidak ada komentar: