Kamis, 17 April 2008

CERPEN: Insting Mati

Oleh : Abdul Razak. M.H. Pulo

Ada banyak gading dan kulit loreng berserakan, di bawah rimbun dedaunan hutan yang mencekung bagai payung. Lengkung itu dipagari batang-batang pohon seukuran paha pria dewasa. Gading dan kulit loreng yang masih utuh tak tersentuh – bagai gadis perawan. Tak kepalang kagetnya Dimas. Tapi bukankah itu barang-barang berharga peninggalan binatang. Itu harta karun yang bertumpuk-tumpuk. Gading itu mengkilap. Kulit itu bersih. Kaki Dimas bagai lengket dengan tanah, heran ia kenapa bisa sampai ke tempat itu.

Perlahan melangkah ia di dalam lengkung ajaib itu. Menyentuh sepotong gading, yang kelihatannya baru saja terlepas dari kepala gajah pemiliknya. Aneh, udara di dalam lengkung itu tak bau bangkai, padahal puluhan jasad macan dan gajah, yang baru dan yang lama, bertumpuk-tumpuk di sina. Coba ia angkat gading itu. Tiba-tiba alam sekitarnya seperti ada bayangan air, bagai fatamorgana.

Seluruhnya, gading-gading itu berdetak-detak. Gelegar petir getarkan bumi. Serta-merta ia lepaskan gading itu. Cepat-cepat ia berlari keluar. Angin begitu kencang, petir kian menyambar. Berlari ia ke arah kemah sekencang-kencangnya. Degup jantungnya menggebu-gebu. Teman-temannya harap-harap cemas menunggu kembalinya Dimas ke kemah.

“Hei Mas, darimana saja kau. Sudah tiga hari kami mencari-carimu. Kami hampir putas asa tahu?” Keluh Hartono

“Apa? Tiga hari mencari-cariku, gila…. lima menit lalu aku di sana” jari Dimas menunjuk-nunjuk ke arah rerimbunan hutan.

“Apa katamu, lima menit? Dan kau bilang di rerimbunan itu? Eh Mas, kau tahu sudah kami jelajahi seluruh puncak Leuser ini. Sudah kami telusuri sungai-sungai itu. Sudah kami masuki gua-gua itu. Kau tak ada Mas. Tak ada. Kau sembunyi di mana sih, apa maksudmu?” Sambut Ningsih. Yang lain hanya diam.

Dimas membisu. “Apa benar mereka sudah tiga hari mencariku. Aneh, apa gerangan yang tengah terjadi”, pikir Dimas

Hujan reda di kala senja mulai membentangkan sayap-sayap keemasannya. Bola api raksasa tampak hanya separuh di batas terjauh Samudra Hindia. Lalu menyusup hingga hilang di kedalaman samudra.

Kelima petualang itu duduk melingkari api unggun yang dibuat dengan sisa-sisa kayu kering. Bintang langit mulai menampakkan wujudnya satu per satu. Venus tampak yang paling terang, meski ia bukan bintang.

“Mas, kami ingin tahu kemana saja kau selama ini” Anto angkat suara

Dimas benar-benar syok. Tatapan matanya kosong

“Aku tak berani mengungkapkan yang aku alami tadi. Benar-benar aneh, seperti dalam mimpi.”

“Ayo Mas, cerita saja jangan ragu. Kami pasti percaya, kok” Desak Ayu

Dimas membalikkan badannya. “Ups!, hahh.. Kemana rimbunan itu!!?”

Semua mata tertuju ke arah yang dimaksudkan Dimas. Semua mereka kaget.

Malam itu mereka tak bisa tidur sekejap pun setelah Dimas menceritakan semua yang telah dialaminya di dalam lengkung ajaib itu – lengkung kasatmata.

Keesokan harinya mereka memutuskan untuk segera turun. Benak mereka masih menyimpan sejuta tanya. Dalam perjalanan mereka lebih banyak diam.

Tiba di sebuah perkampungan di lereng gunung. Mereka berjumpa dengan seorang kakek sedang duduk di bawah pohon di pinggir jalan setapak, menghisap rokok daun nipah.

“Assalamulaikumm….” Sapa mereka

“Waalaikum salamm..”

Kakek itu menatap Dimas lekat-lekat layaknya ada seribu tanya yang terpancar di wajah Dimas. Disentilnya rokok di tangannya, jatuh ke dalam geuleupak berisi air hujan.

“Kalian dari puncak?” Tanya Kakek itu tiba-tiba

“Iya” jawab mereka serentak

“Kenapa wajah-wajah kalian tampak tegang. Apa di sana keadaannya tak enak?” Tanya sang Kakek seolah mengetahui isi pikiran mereka

Dimas tampak linglung. Yang lain saling pandang.

Kakek itu terkekeh. “Ayo kita bincang-bincang sejenak di atas rangkang sana” Jari Kakek Banta menunjuk ke arah sebuah pondok.

Kakek Banta berjalan tergopoh-gopoh. Kopiah yang dikenakannya sebagian sudah coklat kekuningan. Dalam kantong bajunya tampak seikat rokok daun nipah dan sejumput bakung di dalam plastik kecil yang sudah kusam. Usianya sudah cukup renta, kira-kira delapan-puluhan tahun, tapi masih kuat dan tampak sehat. Sesekali ia batuk, mungkin karena ia suka merokok. Tubuhnya agak bungkuk selain dimakan usia, mungkin juga karena terlalu berat menahan beban hidup, namun masih tetap tegar bagai Leuser yang menjulang menatap angkasa.

“Apa itu rangkang, kek?” Tanya Hartono

“Oho.. rangkang itu pondok yang dibuat berbentuk panggung dan dindingnya tidak penuh. Biasanya rangkang itu dibuat di sawah-sawah untuk tempat beristirahat sambil menghalau burung pemakan padi. Tapi rangkang juga bisa dibuat di ladang atau kebun. Inilah, rangkang”

Sebuah rangkang yang terbuat dari kayu dan bambu itu berdiri kokoh diapit dua pohon meranti. Ilalang menggeliat pelan diterpa angin. Beberapa ulat tampak tengah merayap di ujung-ujung ilalang. Seekor belalang meloncat ke atas belukar ketika seekor kodok mendekatinya. Angin di kaki Leuser terasa dingin menusuk pori.

Kami naik keatas rangkang. Kami duduk bersila setengah lingkaran menghadap sang kakek.

“Apakah kalian ada berjumpa dengan binatang-binatang penghuni Leuser?” Tanya Kakek Banta

“Banyak Kek. Ada harimau, gajah, rusa, orang utan, berbagai jenis burung, dan masih banyak lagi, Kek” Jawab Ningsih

“Terus ada juga berbagai jenis ular, dan ….” Dimas diam sejenak “Engg… saya ada melihat kuburan binatang, Kek.”

Kakek Banta tampak manggut-manggut, dan senyumnya menampakkan gusi tanpa gigi yang merah kehitam-hitaman.

Kakek itu mulai bercerita. “Tahukah kalian, setiap binatang itu selalu punya naluri ketika ia mau mati. Biasanya mereka akan mencari tempat di mana leluhur-leluhurnya mati. Mereka punya tempat khusus, ke sana lah mereka akan berkumpul bila mereka ingin mati. Bukankah jarang sekali kita dapat melihat binatang yang mati wajar, misalnya karena umur yang sudah uzur. Kita memang bisa melihat jasad mereka bila dibunuh pemburu atau dibunuh pemangsanya.

Dimas sangat antusias dan penasaran. “Jadi orang yang masuk ke dalam itu bagaimana, Kek?"

“Hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk ke dalam tempat itu. Biasanya tempat untuk mati itu berbentuk lengkung yang dipagari pohon-pohon, ukurannya macam-macam tergantung jenis binatang yang akan mati di dalamnya. Orang-orang tertentu itu biasanya tak sengaja masuk ke tempat itu. Tampak seperti ada pintu di antara pohon-pohon yang memagarinya. Tempat itu seperti di dunia lain.”

Masih jelas terbayang di benak Dimas betapa pada saat itu tiba-tiba ia seperti menembus tirai jaring laba-laba, dan tak dinyana ia sudah berada dalam cekungan rimbun dedaunan hutan. Di dalam itu sunyi, tak terdengar suara apapun, selain suara nafasnya sendiri. Cuacanya tak dingin tak panas, dan terang. Aneh, padahal tak ada cahaya matahari yang masuk.

“Maksud Kakek, orang tertentu itu orang-orang pilihan?” Tanya Ayu

“Orang itu adalah yang tidak pernah lupa kepada Tuhannya, dan punya pikiran yang bersih dan niat yang selalu baik. Namun pada saat berada di dalam itu, ia tidak boleh menyentuh apapun, apalagi mengambilnya. Itu adalah pantangan yang utama, bila tidak, sulit diramal apa yang mungkin bakal terjadi dalam kehidupan orang itu sesudahnya, bisa lebih baik, bisa lebih buruk”

Dimas tersentak. Tubuhnya gemetar. Ada rasa takut luar biasanya yang merambahi tubuhnya.

Kakek Banta bukanlah anak kecil yang belum tahu banyak hal. Hidupnya sudah ditempa dengan berbagai pengalaman – pahit maupun manis. Kakek itu langsung tahu bahwa Dimas telah melanggar pantangannya.

“Sudahlah nak, kamu jangan takut. Berdoalah semoga hidupmu akan lebih baik” Ucapan bijak Kakek Banta berusaha menenangkan Dimas.

“Tahukah kalian, Orang-orang di kampung ini, pada saatnya, juga merasakan kapan mereka akan mati. Mereka juga punya naluri mati. Sebagian orang kampung ini pada saat mendengar ledakan-ledakan, letusan-letusan, mereka segera mempunyai naluri mati. Setelah itu, mereka akan segera berkumpul pada sebuah tempat. Mereka semua menuju ke sana. Biasanya naluri mereka jarang yang salah. Mereka berkumpul di sana. Meratap di sana. Bedoa di sana. Sedang ledakan-ledakan kian membahana. Letusan-letusan kian mendekat. Mereka terus berdoa semoga mereka terbebas dari dosa, bila mereka akan mati pada hari itu. Ada yang mati wajar, ada yang tidak. Bisa kena api, atau kena timah. Bisa kena otot atau kena besi. Banyak penyebabnya, termasuk juga penyakit. Namun mereka sudah punya naluri lebih dahulu, layaknya harimau dan gajah itu.”

“Dan anehnya lagi” sambung sang kakek, “Tempat berkumpul untuk mati itu juga tak banyak yang tahu. Hanya satu-dua orang saja. Itupun ia tak berani buka mulut. Tak berani bersuara, karena ia melihat keanehan – sesuatu yang tak terjangkau akal sehat. Hanya disimpan dalam hatinya yang terluka - yang terenyuh. Orang itu melihat fatamorgana juga, berair, ya air mata. Pada saat ia berusaha memberi tahu kepada orang lain. Segera pula hujan deras turun dan petir menyambar-nyambar. Dan menjadi pertanda kurang baik baginya. Itulah sebabnya mereka memilih diam. Diam dan hanya diam.”

Mereka terkagum-kagum dengan cara pengungkapan kakek ini. Ia tentu bukan orang sembarangan – berwawasan dan cerdas, pikir mereka.

“Aku juga pernah punya naluri seperti itu. Namun, kala itu naluriku salah. Aku masih bisa hidup hingga sekarang. Namun biasanya naluri tidak akan salah pada saat datang untuk kedua kalinya” Tambah sang kakek

“Sekedar kalian tahu, kami adalah raja di kampung sendiri. Kami semua raja seperti macan-macan dan gajah-gajah itu. Mereka raja rimba, kami raja kampung. Cuma itu bedanya”

Suasana hening.

Dari kejauhan sayup-sayup terdengar letupan-letupan bagai jagung meletup. Bukan, bukan letupan jagung. Suara itu jauh lebih keras dan berentet.

Kakek Banta diam. Ia memejamkan mata. Apakah ia sedang ber-insting mati? Kelima pecinta alam itu tak merasakan apa-apa, tak juga berinsting apapun. Mereka turun dari rangkang, dan terus berjalan ke kampung seberang sambil berbicara dalam bahasa mereka sendiri.

Hujan turun. Petir menyambar-nyambar. Dimas jadi saksi di pengadilan atas kematian tak wajar - yang diawali naluri mati - di kampung Kakek Banta

Banda Aceh, 12 Juni 2004

Cerpen ini telah dimuat di Majalah Annida, Februari 2005. Saya mengirimkan cerpen ini ke Annida via email pada tanggal 24 Desember 2004, tepat 2 hari sebelum tsunami..

KISAH NYATA: Ini Bukan Mimpi

Oleh : Abdul Razak M.H. Pulo

26 Desember 2004

Begitu dahsyat gempa ini. Tak pernah kurasakan seumur hidupku, bahkan dalam mimpi sekalipun. Saat gempa itu mulai menggoyang-goyang bumi, menderak-derakkan tanah, aku dan Anum sedang sarapan di kantin. Mula-mula hanya berupa goyangan halus, kami tidak begitu peduli. Terus kami santap nasi gurih kami.

Beberapa detik kemudian, hentakan, goyangan, dan derakannya semakin keras. Bergemuruh retakkan dinding-dinding kantin. Kami berlari keluar. Jantungku berdebar-debar. Semua orang di kantin yang tadinya cuek pun berhamburan mencari tempat lapang. Sempoyongan kami berlari ke pelataran parkir yang jaraknya sekitar lima belas meter dari kantin.

Tanah bergemuruh. Kami duduk bersimpuh. Aku menelepon adikku di ruko. Nada masuk, tapi tak diangkatnya. Apa dia masih tidur, pikirku. Kucoba sekali lagi. Tak berhasil, tak ada nada. Jaringan putus? Aku benar-benar kuatir. Ruko kami dua lantai. Dua adik kandung dan dua adik sepupuku tinggal di sana. Bagaimana mereka?

Gempa makin kuat. Pohon-pohon seolah akan tercerabut dari akar-akarnya. Gedung-gedung akan runtuh berhamburan. Kami masih duduk bersimpuh di atas pelataran parkir. Beberapa orang yang masih coba berdiri di belakang kami, tiba-tiba terjatuh. Seorang ibu tampak tak sadarkan diri. Dari mulut kami terus meluncur kalimat-kalimat Ilahi. Kami tidak tahu apakah kami akan mati hari ini. Roh kami seolah sudah dipanggil-panggil malaikat pencabut nyawa. Bangunan Poli Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin (RSUZA) di samping kami retak-retak. Kaca-kaca jendelanya pecah berhamburan ke tanah. Kalau bangunan itu rubuh, pasti menimpa kami. Jangan. Jangan rubuh!

“Bang, apa ini kiamat bang? Tanya Anum panik sambil menangis.

“Tenang Num, tenang.. ini bukan kiamat. Gempanya pasti akan berhenti.” Aku coba tenangkan Anum sekaligus mensugesti diriku sendiri. Lailahaillallah…Allahu Akbar. Ampunilah dosa-dosa kami ya Allah.

Tiba-tiba terdengar dentuman keras tak jauh di depan kami, yang belakangan kuketahui dentuman itu adalah suara akibat runtuhnya kubah Masjid Lampriet, di masjid itu aku dulu pertama kali bertemu dengan ketua FLP Aceh saat itu, Cut Januarita.

Sekitar enam menit kemudian, suasana menjadi hening. Gempa berhenti. Tetapi rasa pusing masih bergelayut di kepala kami. Kami coba berdiri. Ya, gempa benar-benar sudah berhenti. Kami lega. Ibu yang tadi tak sadarkan diri masih pingsan, dikipas-dikipas oleh seorang laki-laki muda, mungkin anaknya. Anum pucat pasi. Aku juga, menurut Anum. Kami berjalan perlahan-lahan menuju kantin. Kami bayar makanan kami yang belum habis kami makan. Lunas. Kami tidak punya utang jika kami harus mati hari ini.

“Num, aku harus pulang. Aku harus mengetahui kabar adik-adikku.”

“Oke bang. Hati-hati. Aku juga mau pulang.”

Sejak tadi malam aku dan Anum di rumah sakit ini. Ada dua lagi teman kami tapi entah di mana mereka, terakhir kami berpisah di koridor. Kami tugas jaga di Bagian Saraf, karena kami sedang coas di sana. Jadwal jaga kami sampai pukul dua siang ini.

Aku bergegas ke jalan raya, naik sebuah labi-labi. Dalam tiga menit aku sudah berada di simpang jalan Peurada I - jalan menuju ruko-ku. Cepat-cepat aku melangkah, sambil menyapu pandangan ke sekelilingku. Semua orang berada di luar rumah masing-masing. Dari kejauhan aku melihat ruko-ku samar-samar. Dan ia tampak masih tegak berdiri diapit empat ruko lain di kiri-kanannya. Dalam satu menit sejak aku turun dari labi-labi, aku sudah berada di ruko. Kudapati adik-adikku di luar. Mereka selamat. Adikku satu perempuan satu laki-laki. Dan dua adik sepupu, juga satu laki-laki satu perempuan.

Di lantai bawah, kudapati kaca akuarium pecah berkeping. Airnya menggenangi lantai. Ikan-ikan sudah dimasukkan ke dalam sebuah ember. Komputer-komputer masih utuh di tempatnya - di atas meja masing-masing. Kami membuka rental komputer untuk meringankan orangtua kami yang berdomisili di Kabupaten Bireuen.

Sekitar tiga menit aku di ruko. Aku harus kembali ke rumah sakit. Setelah mengingatkan adik-adikku supaya tetap berada di luar ruko dan jangan naik ke atas, karena masih banyak gempa susulan. Lalu aku ambil sepeda motor dan melaju kencang ke rumah sakit. Tiba di rumah sakit, aku bergegas ke ruang saraf - tempat aku bertugas - yang berada paling ujung, dekat kamar mayat, untuk melihat pasien-pasien kami. Butuh waktu empat menit untuk sampai ke sana, itupun dengan jalan cepat ala coas. Di kiri kanan koridor, di atas taman-taman, tampak pasien-pasien ditemani perawat dan coas. Mereka dikeluarkan bersama bed. Dan banyak di antara mereka selang infus-nya masih terpasang, terutama anak-anak.

Tiba aku d ruang saraf, aku melihat seluruh pasien sudah dievakuasi ke luar ruangan. Lalu, aku masuk ke kamar coas. Memakai jas coas, dengan sebuah stetoskop dalam saku kanannya. Setelah beres mengurus dan memperhatikan pasien, aku melangkah ala coas ke IGD. Di sana banyak pasien korban gempa yang butuh pertolongan.

Sampai di depan ruang rawat anak, aku mendengar kegaduhan teriakan orang-orang. Histeris. Ada semacam suara bergemuruh. Berdentang-dentang. Sayup-sayup. Sambil berjalan dalam keadaan penasaran apa yang tengah terjadi, aku bertemu dengan Bang Nasrul, seniorku. Kami salaman. Langkahnya terburu-buru. Napasnya cepat. Dalam detik itu juga ia mengatakan ”Air laut naik. Lampulo sudah jadi laut. Lambaro Skep juga. Sebentar lagi Lamprit, mungkin lalu ke rumah sakit ini. Kalau ada saudara di Lamprit habungi segera. Cepat…”

Aku terpana. “Air laut naik?”

“Ya”

“Betul Bang? Dari mana abang tahu”

“Betul. Kau dengar suara itu?”

Sesaat aku terpaku di tempat. Tsunami? Benarkah? Bisikku dalam hati. Masya Allah…

Tanpa basa-basi lagi, dia terus melanjutkan langkahnya, entah siapa yang akan diselamatkannya. Apa yang harus kulakukan. Ke mana aku pergi. Akankah aku selamat? Akankah air itu melumatkan seluruh umat manusia di Banda Aceh ini?

Ke mana aku berlari, sementara teriakan-teriakan histeris semakin pilu. Menyayat hati. Aku masih berjalan pelan. Sementara semua orang - satpam, coas, perawat, pasien, keluarga pasien – panik. Panik sekali.

Gemuruh itu semakin dekat. Semakin nyata. Semakin terasa aroma maut yang dibawanya. Baunya yang khas, warnanya yang pekat membuat bulu kuduk merinding. Tatapanku nanar. Lalu aku berlari cukup kencang ke IGD. Aku tak peduli. Aku harus hidup, pekikku dalam hati.

Sampai di IGD, aku sempat membantu sejumlah perawat yang sedang mengangkat pasien korban gempa ke lantai dua. Pasien-pasien itu kami taruh begitu saja. Kalau boleh dibilang sebenarnya kami melemparnya, disambut beberapa orang yang ada di tangga.

Air datang begitu cepat. Sangat cepat. Bergelora. Bergulung-gulung. Menghantam, menghanyutkan apa saja. Tak peduli, ia menggila, mengganas. Kami lari menghindari air. Air mengejar kami. Hanya beberapa detik, air mengenai kaki kami, terus lutut. Paha. Pekat hitam warnanya. Saling berpegangan kami menanapaki anak tangga. Teman-teman kami di atas tangga menggaet tangan kami. Begitu cepat air naik. Sepinggang kini. Ditarik kami ke atas.

Kami bersyukur, hingga detik ini kami masih selamat. Dari tangga kami bergegas ke lantai dua. Lalu ke lantai tiga. Di sana, terdapat puluhan, mungkin ratusan penduduk sekitar rumah sakit yang menyelamatkan diri. Ditambah beberapa dokter, perawat, dan coas. Hampir semua mereka menangis.

Dikomandoi dokter Iskandar- PPDS bedah - aku dan beberapa teman coas mengobati para korban gempa yang kami angkut tadi. Ada yang terluka, patah tangan, patah kaki. Mereka sekarat, malah seorang ibu yang sedang melahirkan meninggal dunia. Panggulnya sempit, bayinya tak bisa lahir. Ia mengalami perdarahan. Sekuat tenaga dokter Rosdiana membantunya, tapi Allah berkehendak lain.

Kami benar-benar tidak tahu kapan bencana ini akan berakhir. Gempa susulan terus saja terjadi. Kami tidak tahu apakah hari itu kami semua akan mati. Kami tak tahu, apakah bangunan ini sebentar lagi akan runtuh. Apakah air laut akan naik sampai ke tingkat tiga. Kami juga tidak tahu. Orang-orang mulai mencopot plastik yang membungkus kursi-kursi baru yang terdapat di sini. Ruangan ini adalah aula, dulu tempat ini sering digunakan untuk ruang ujian kami. Plastik-plastik itu ditiup. Beberapa ibu menyematkan plastik yang sudah ditiup itu di punggung anak-anaknya, sebagai pelampung.

Gempa susulan terjadi lagi. Orang-orang panik. Menjerit-jerit. Histeris.

Dokter Iskandar mencoba menenangkan mereka “Dengar… Jangan panik! Kalau ada gempa jauhi jendela kaca. Jangan berdiri di bawah lampu yang tergantung itu. Dengarkan saya, jangan panik. Berdoa saja! Kalau memang kita akan mati hari ini, berserah dirilah kepada Allah. Jangan panik. Berdirilah di bawah kosen-kosen pintu itu.” Jari dokter Iskandar menunjuk-nunjuk ke arah beberapa pintu.

Kami sadar. Kami kekurangan segalanya. Tak ada obat. Tak ada alat. Tak ada makanan, minuman. Kami tak tahu kapan air surut. Atau mungkin akan tambah naik?

Jam menunjukkan pukul 9.30 WIB. Entah siapa yang memerintah, tiba-tiba beberapa di antara kami diajak turun ke lantai dua. Di sana terdapat Poli Gigi, dan kantor Diklat Pendidikan. Dibantu beberapa orang penduduk, kami mulai memecahkan kaca jendela dan pintu poli gigi. Kami masuk. Kami ambil apa saja yang kami anggap berguna : obat, alat-alat medis, kapas, gelas, air minum, gula, termasuk es batu di dalam kulkas. Aku juga memecahkan jendela kantor karena kulihat ada sebuah dispenser dengan sejumlah air di dalam galonnya. Aku ambil. Aku angkut ke lantai tiga.

Di luar sana pasti banyak sekali manusia yang sudah menjadi mayat. Aku edarkan pandanganku ke luar. Tampak beberapa anak sekolah bergantungan di halte depan rumah sakit. Di pagar, tampak seorang pria memegang erat-erat jeruji besi, dengan tubuh gemetar dan menggigil. Samar-samar terlihat sosok yang timbul tenggelam di depan IGD. Mobil-mobil mengapung.

Jam sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB. Di lantai dua, sudah ada Bang Nasrul, Susi, Syahmadi, dan Linda. Mereka baru tiba. Celana dan jas coas mereka basah. Mereka menyelamatkan diri di lantai dua ruang kardiologi, kecuali Syahmadi yang dengan susah payah menyelamatkan diri di atap koridor. Atas saran Bang Nasrul, kami turun ke bawah. Ke dalam air. Kami berencana pulang ke rumah masing-masing. Entah rumah itu masih ada atau telah hanyut.

Tiba di bawah, di dalam air, kami tidak berdiri jauh dari IGD. Maksud kami, kalau air naik lagi, kami bisa langsung lari naik ke IGD. Sebaliknya, kalau IGD runtuh, mungkin kami masih bisa selamat dari reruntuhan. Kami bergandeng tangan di dalam air. Dompet, HP, dan stetoskop sudah kami masukkan ke dalam kantung plastik. Dan kami menaruhnya dalam tas Linda.

Dalam 20 menit kami berhasil tiba di halte yang jaraknya cuma 10 meter dari IGD. Lama kami di sana, dengan perut lapar. Sekilas, aku melihat beberapa bungkus biskuit mengapung di belakang halte. Aku beritahu Bang Nasrul. Ia turun ke air, menjangkaunya dengan sepotong kayu. Kami makan biskuit itu dengan lahap. Tak ada air minum. Untung dalam tas Susi masih tersisa setengah botol air Aqua. Kami bagi berlima. Satu teguk per orang.

Pukul 4 sore, air semakin banyak surut. Kami memutuskan untuk beranjak pulang. Kami berpencar. Susi dan Bang Nasrul pergi ke arah Jambo Tape. Aku, Madi, dan Linda ke arah Peurada. Aku dan Linda tinggal di dusun yang sama. Madi akan ikut bersamaku. Rumah kos-nya di Darussalam. Ia yakin rumahnya telah hanyut tersapu air.

Berjalanlah kami perlahan-lahan. Banyak orang di Simpang Lampriet mengerumuni mayat-mayat yang tergeletak di atas trotoar. Tak ada seorang pun yang kami kenali.

Mayat-mayat wanita yang kami temui sepanjang jalan, nyaris tak berbusana. Bahkan ada yang telanjang bulat. Sedangkan mayat laki-laki, masih banyak yang berpakaian lengkap. Atau hanya tinggal celana. Tak ada yang telanjang bulat. Entahlah, apa arti dibalik kenyataan ini.

Linda nyelutuk “Mungkin semasa hidupnya, mayat-mayat perempuan itu tidak menutup aurat dengan baik”

“Entahlah.. Mungkin saja.” Sahutku datar.

Kami berjalan sangat hati-hati karena kami tidak tahu benda-benda tajam yang tersembunyi dibalik air sepaha itu. Untuk mengurangi kemungkinan kaki kami terluka, kami mengikuti jejak orang-orang di depan kami. Kadang mereka sendiri yang memberi tahu kami. Kami pun melakukan hal yang sama kepada orang di belakang kami.

Mulai dari kantor Gubernur sampai Asrama Haji, kami lihat mobil-mobil tumpang tindih, terbalik, tersangkut di atas pohon, hinggap di atap-atap rumah. Benar-benar seperti dalam mimpi.

“Apakah ini mimpi?” Tanyaku kepada Syahmadi

“Kuharap begitu” Jawab Madi tanpa ekspresi.

“Ya. Ini hanya mimpi. Saat kita bangun pagi esok pasti semua akan seperti sedia kala.” Sambungku.

Saat kami memasuki Simpang Peurada, kami berhadapan dengan jejalan mobil, kayu-kayu, sepeda motor, dan seng-seng atap rumah yang terhanyut. Jalan menjadi sangat sempit. Kami berjalan pelan karena tidak ada orang yang berjalan di depan kami, menyisihkan segala rintangan. Kini kaki-kaki kami mulai terluka. Jantungku berdegup kencang. Sangat kencang. Ruko-ku tak jauh lagi. Pikiran terhadap adik-adikku semakin kuat. Apakah mereka selamat? Mereka harus selamat. Mereka pasti naik ke lantai dua. Aku sudah dapat melihat jelas ruko-ku, masih diapit empat ruko lain di kiri-kanannya. Ada rasa bahagia di hatiku. Semakin dekat aku ke ruko, semakin banyak perubahan yang terlihat. Pintu keempat ruko lain rubuh dan rusak. Terbuka menganga. Sedangkan pintu besi ruko-ku tampak terbuka setengahnya. Ia rusak, tapi tak rubuh. Air masih menggenangi seluruh bangunan ruko. Ada tiga sosok mayat tergeletak di atas papan tepat di depan ruko-ku. Pasti ada orang yang meletakkannya di situ.

Aku berlari dalam air meninggalkan Linda dan Madi. Bergegas aku ingin masuk ke dalam ruko melalui celah pintu yang terkoyak. Langkahku terhenti ketika melihat ke dalam ruko. Bekas batas air di dinding sekitar 2 meter. Masya Allah, semua komputer terendam air di lantai, bertindih-tindih di dekat pintu. Aku tak bisa masuk. Aku memanggil-manggil adik-adikku. Tak ada jawaban. Aku berteriak. Juga tak ada jawaban. Rasa bahagia yang kurasakan tadi mendadak sirna, luruh berkeping-keping.

“Di mana mereka? Di mana…” Teriakku sekuat tenaga. Aku tak bisa menahan tangis. “Ke mana mereka? Kemana…?”

Sambil menepuk bahuku Madi menenangkanku, “Tenanglah Zak. Mereka pasti lari ke tempat yang aman. Tidak naik ke atas. Mereka pasti selamat. Tenanglah…”

“Tapi kenapa mereka harus berlari, itu beresiko. Kenapa mereka tidak naik ke atas.” Protesku dalam isak tangis.

“Mungkin mereka takut gempa susulan. Takut ruko rubuh.” Hibur Madi.

Hanya sejenak Linda bersama kami. Lalu ia pamit pulang ke rumahnya yang hanya beberapa lorong bertaut dari ruko-ku.

Aku masih terisak “Kita harus cari mereka. Sampai ketemu, bagamanapun mereka!”

Tampak beberapa orang lewat di jalan depan ruko-ku. Salah seorang dari mereka kukenali. Aku menanyakan perihal orang-orang yang lari menyelamatkan diri dari ganasnya air bah. Dia bilang bahwa orang-orang di sini berlari ke arah Kampung Pineung. Mereka berkumpul di Masjid. Dia baru saja dari sana. Airnya tidak tinggi, hanya sebatas lutut.

Kabar itu melegakanku, meski belum bisa dibilang bahagia. Aku mengajak Madi. Bergegas. Kami tak merasa lelah sedikit pun, padahal belum makan, dan telah berjalan cukup jauh melewati medan yang amat berat. Sampai di masjid. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh sudut masjid. Pandanganku menyelinap di antara kerumunan orang. Tak ada tanda-tanda keberadaan mereka. Lama aku celingak-celinguk. Aku hampir putus asa. Namun, tiba-tiba seorang gadis memanggilku. Itu adik perempuanku! Ia berlari ke arahku. Memelukku, berurai air mata.

“Yang lain mana?.” Tanyaku

“Ada. Kami selamat semua.”

“Alhamdulillah.” Ucapku halus, hampir tak terdengar

“Kami lari, tidak berani naik ke lantai dua. Takut gempa susulan.”

“Oke. Nggak apa-apa, yang penting kalian selamat.

Setelah bertemu dengan mereka semua, aku pesan supaya malam ini mereka harus tidur di rumah miwa di Lampineung. Aku tak ingin mereka tidur di pengungsian.

Aku dan Madi segera pulang ke ruko. Kami kelelahan. Kami tak tahu harus ke mana lagi. Kami lapar. Kami haus. Kami memutuskan tak ke mana-mana lagi. Kami akan tidur di ruko malam ini, walau kami tahu itu penuh resiko. Mungkin cuma kami yang berani bertahan di sini.

Kami masuk lewat pintu belakang yang memang telah patah. Setelah memeriksa keadaan, kami turun lagi untuk membeli mie instan, air minum dan beberapa jenis makanan ringan di warung Bang Samsul - agak jauh dari ruko-ku. Warung itu rusak dan air menggenanginya, tapi masih ada barang-barang yang kami butuhkan, termasuk beberapa batang lilin.

Setelah berganti pakaian - kebetulan ada beberapa pasang pakaianku di lantai dua - kami memasak mie, cukuplah untuk mengganjal perut kami yang sudah begitu asam.

Malam tiba. Sunyi senyap. Hanya suara anjing menggonggong dari kejauhan yang terdengar. Mungkin mereka sedang pesta daging mayat di seantero Banda Aceh. Melalui jendela, aku melihat rembulan yang bersinar terang, mungkin satu atau dua hari lagi akan purnama. Allah sengaja mencerahkan langit malam ini, juga dihiasi bintang-gemintang karena aliran listrik padam seluruh kota. Kami nyalakan lilin dan bakar obat nyamuk.

Kami merebahkan tubuh. Kami sudah sepakat kalau gempa susulannya kuat, kami akan turun berlari keluar. Tapi bila gempanya tidak seberapa, kami tetap tinggal di atas. Pasrah. Kami hitung, malam ini puluhan kali gempa susulan, besar dan kecil. Beberapa kali pula kami berlari ke bawah. Hanya beberapa jam kami terlelap.

Subuh kembali menyapa walau tanpa kokok ayam. Sunyi senyap bagai berada di suatu tempat yang baru usai perang. Melalui jendela aku mengedarkan padangan ke luar. Air sudah tinggal sedikit. Pagar rumah tetanggaku masih rubuh. Mobil yang terperangkap dalam got masih di situ. Dan tiga sosok mayat di atas papan yang kami lihat kemarin masih di tempat semula. Mulai menggembung. Belum ada lalat.

“Madi” paggilku membangunkannya “Lihatlah keluar. Lihatlah Madi… This is not a nightmare - Ini bukan mimpi…”

Keterangan:
Coas = praktik mahasiswa kedokteran untuk menjadi dokter
PPDS = Program Pendidikan Dokter Spesialis
Labi-labi = Sejenis angkutan kota di Aceh
Miwa = Bibi (aceh)

Banda Aceh, 27 Desember 2004

**Kutulis kisah ini di kamar lantai dua ruko-ku yang bernama Venus Computer, pukul 07.14 WIB, Syahmadi sedang memasak mie instan, memakai kain sarung. Gempa susulan masih saja berlangsung.

Rabu, 16 April 2008

CERPEN: Desir Trotoar

Oleh : Abdul Razak M.H. Pulo

Mengeliat-geliat lelaki itu berusaha merangkak di atas trotoar. Di depan sebuah mall. Entah berapa lama sudah ia di situ. Tak kuasa, terkulai layu ia di bawah terik matahari. Tak ada suara yang meluncur dari mulutnya, meski terbuka dan bergerak-gerak. Menggapai-gapai tangannya serupa orang hanyut. Terseret-seret kakinya senti demi senti. Berguling tubuhnya ke kiri ke kanan. Baju lengan pendek dan celana buntungnya kumal penuh kuman. Bagian tangan dan kakinya yang tak terbungkus pakaian menghitam serupa arang. Matahari membakarnya. Berlapis-lapis daki di kulitnya. Kurus tubuhnya menyiratkan kepahitan hidup berbulan-bulan. Mungkin bertahun-tahun di Medan metropolitan ini. Siang ini hiruk-pikuk memenuhi kota setelah tadi pagi orang-orang disibukkan Pilkada pemilihan walikota.

Beberapa lelaki muda bercengkrama di atas bantalan trotoar tak jauh dari si lelaki tua. Asik ngobrol mereka seolah tak melihat si lelaki itu. Mungkin diliriknya pun tidak. Lalu mobil lalang di jalan tiada putusnya, dengan orang-orang gemuk di dalamnya.

Masih searah dengan trotoar itu, di depan sebuah bank, sekitar dua puluh meter dari lelaki itu sebuah pos polisi bertengger. Tampak beberapa polisi duduk bergaya sambil mengisap kretek di dalamnya. Sesekali tertawa lepas.

***

Aku dan Kiki baru saja turun dari angkot. Kami hendak ke mall, tapi rupanya tak ada mall yang buka hari ini. Kami pun mengalihkan tujuan menuju Titi Gantung, ingin kubeli beberapa buku.
Setelah sekian lama berpisah, sekarang jumpa lagi aku dengan Kiki. Setamat SMP dulu ia pindah ke Medan. Dulu sama-sama kami tinggal di sebuah kota kecil di Aceh, dan kami berpisah saat ia harus ikut orang tuanya. Jadilah ia seorang anak metropolitan kini. Tapi ia masih kocak dan cuek seperti dulu. Aku akan tinggal di kota ini sebulan lamanya.

Dari depan mall di atas trotoar kami berjalan gontai. Tak lama kemudian kami dikejutkan si lelaki tua yang mengeliat-geliat berusaha merangkak. Ada semacam desir aneh yang menjalari seluruh tubuhku tiba-tiba : rasa iba. Kulirik Kiki. Dia tampak santai saja, seperti tak merasakan apa-apa.

Segera kudekati lelaki itu, Kiki tetap berdiri di tempatnya. Berdiri sejenak, lalu kedua tanganku kulasakkan ke bawah ketiak lelaki tua. Kutarik tubuhnya mundur perlahan. Aku ingin menyandarkannya pada dinding trotoar yang agak teduh di bawah bayang-bayang rerimbunan bunga taman. Aku coba menariknya sedikit lagi biar lebih tegak, tapi agak sulit karena kakinya lemah sekali. Aku minta bantu Kiki untuk menggeser kaki si lelaki tua. Tampak Kiki keberatan, tetapi kupaksa ia. Kini lelaki itu telah tersandar pada tembok trotoar. Tersenggal-senggal napasnya. Terbuka-tutup matanya.

“Ki, kita harus lakukan sesuatu. Kita harus beli makanan. Atau sesuatu yang bisa dimakan, diminum.” Aku menjulur-julurkan leher mencari-cari di mana kiranya penjual makanan.
Tak ada sahutan dari Kiki.

Aha! Tepat di sebelah kanan pos polisi, ada sebuah kios-berjalan yang ditunggui seorang lelaki paruh baya.

Segera aku ke situ. Kiki diam di tempatnya. Aku membeli satu botol besar air mineral dan sebungkus roti. Kuedarkan pandang sekilas ke arah polisi-polisi itu saat melintas di depan mereka.

Segera aku memberi minum si lelaki tua. Gemetar bibirnya. Bergerak-gerak mulutnya yang terbuka sedikit.

“Kita harus membawanya ke rumah sakit.” Kataku pada Kiki

“Tidak. Kita jangan mencari masalah.” Itu suara pertama Kiki semenjak kami turun dari angkot. Dan suara itu bernada tinggi.

“Apa? Maksudmu?”

“Pokoknya tidak!”

“Kenapa?”

“Kamu tidak tahu. Kalau kita membawa dia ke rumah sakit. Kita yang akan menanggung semua biaya pengobatan. Kita akan terbeban. Belum lagi kalau dia mati, dan tiba-tiba datang keluarganya. Lalu menuntut kita. Entahlah, semua kemungkinan bisa saja terjadi. Yang jelas itu akan memberatkan kita. Terus terang saja aku tidak sanggup. Banyak sekali gembel di sini. Banyak juga yang sudah mati. Di jalan. Di trotoar. Juga di depan rumah-rumah orang kaya. Ini sudah nasib mereka. Biarkan mereka memikirkannya sendiri. Kamu lihat sendiri, kan tak ada yang peduli sama dia. Ini karena mereka tidak mau menambah masalah.”

Aku tercengang. Kutatap Kiki lekat-lekat. Tak jadi aku beli buku. Kami pulang, tapi pikiranku terpacak di pinggir trotoar. Dalam perjalanan kami banyak diam.

Malamnya sulit sekali aku memejamkan mata. Terus terbayang wajah lelaki tua. Pasti ia sedang mendekap malam di atas trotoar. Tersepak-sepak lalu-lalang orang-orang. Pasti ia sedang meringis dalam keramaian. Lalu gigil dalam sunyi.

***

Esok paginya aku yang pertama tiba di rumah sakit. Pak Situmorang yang sedang mengetik sesuatu di dalam kantornya memanggilku dan bertanya “Kamu sudah dapat kasus?”

“Belum pak. Ada kasus baru ya?”

“Ya. Tadi malam diantar polisi.”

“Kasus apa pak?”

“Sudden death. Kayaknya gembel. Dari tubuhnya kelihatan tak terurus. Biasalah. Ini kamu fotokopi dulu surat visum-nya”. Jawab Pak Situmorang sambil menyodorkan secarik kertas kepadaku.

Beberapa temanku sudah tiba saat aku kembali. Mereka akan membantuku memeriksa kasus ini. Ya, inilah tugas co-ass. Kami lalu membuka kamar mayat, dan segera saja aroma formalin menusuk-nusuk hidung kami. Juga mata kami. Sesosok kurus kaku membujur di atas meja otopsi. Kulitnya seolah hanya membungkus tulang belulang. Tak terawat tubuhnya. Dekil. Kumal penuh kuman. Kaki dan tangannya terbakar matahari.

Tak ada tanda-tanda kekerasan dari hasil pemeriksaan luar. Kemungkinan ia meninggal karena suatu penyakit. Untuk mengetahuinya kami harus memeriksa bagian dalam mayat itu.
Pisau diletakkan di bawah dagu mayat, Kamal, teknisi bedah mayat, kemudian menyayatnya perlahan ke arah bawah sampai perut. Kulit dipotong. Lalu lemak. Tulang rusuk. Dan tulang dada. Organ-organ dalam satu per satu kami periksa. Paru-parunya yang sebelah kanan tampak lengket dengan dinding dada. Ini abnormal.

Rongga perutnya lalu kami telusuri. Lambung kami buka. Betapa kagetnya kami, ternyata terdapat enam, bukan, tujuh ekor Ascaris lumbricoides di dalamnya. Cacing-cacing gelang itu pucat kaku. Mati.

Ia gembel. Gelandangan. Mati karena penyakit.

***

Dalam dua minggu ini kami kebanjiran kasus. Ada kasus intoksikasi, suicide, hanging, drowning, infanticide, luka bakar, luka tembak, kecelakaan lalu lintas, dan sudden death. Kami akan belajar di bagian forensik selama empat minggu.

Meski banjir kasus, menjelang akhir minggu ketiga Kiki belum mendapatkan kasus. Maklum, saat kami mengundi urutan pengambilan kasus, ia mendapat nomor terakhir dari jumlah kami yang empat belas.

Hingga kami pulang pada sekitar pukul dua siang, belum juga ada kasus. Tetapi, pada sekitar pukul sepuluh malam, SMS masuk ke HPku “Bang, ada kasus di pirngadi, dtg cpt ya, dr Sighn masuk”

Sedikit terlambat aku tiba. Sambil berjalan aku pakai jas co-as, tergesa dan dari kejauhan tampak Kiki keluar dari kamar mayat. Akhirnya Kiki mendapatkan kasus, pikirku.

Kiki bersandar pada dinding dekat pintu. Matanya terpejam. Mungkin perih terkena hawa formalin, pikirku. Aku menyapanya.

Ia membuka matanya yang berair, mungkin perih terkena hawa formalin.

Aku mengarahkan pandang ke dalam kamar. Sesosok kurus kaku membujur di atas meja otopsi. Bagian tangan dan kakinya yang tak terbungkus pakaian menghitam serupa arang. Panas kota membakarnya. Aku teringat saat ia meringis dalam keramaian. Lalu gigil dalam sunyi.

Kiki masih bersandar pada dinding. Sementara di ruang tunggu, aku menangkap sosok ibunya Kiki tengah meredakan tangis seorang perempuan kurus - pembantu kesayangannya. ***

Medan – Banda Aceh, Juli 2005

Keterangan:
Co-as : dokter muda yang tengah praktik di rumah sakit
Sudden death : kematian mendadak
Suicide : bunuh diri
Hanging : mati gantung
Drowning
: mati tenggelam
Infanticide : pembunuhan anak
Cerpen ini dimuat Harian RajaPost, 2006

PUISI: Api Berlatar Langit Jingga

(Refleksi PT. Arun LNG)

Oleh Abdul Razak M.H. Pulo

Enam api berkobar
menyala
berani menantang lengkung langit
menyeruak
menyusupi sudut-sudut kegelapan
hantu-hantu singkap jubah
jin-jin geliat gerah tersiksa
bak dikepung alunan ayat-ayat suci

Enam api gelora memuncak
jantung-jantung bergemuruh
senang campur bahagia
gelak tawa penguasa
jerit derita jelata

Asap api hitam keemasan
berlatar langit jingga
berdansa ikuti irama angin pantai
berarak ke ibukota

Api tinggal empat
sekarat cerahkan langit

Api tinggal dua
lara pasti menghimpit
mencekik tangis yang merah bagai bara

Api layu pilu
lamat-lamat pudar menuju jingga
ungu
abu-abu
hitam
seram bagai sarang hantu

Lhoksemawe, 18 Mei 2004
Puisi ini dibuat Harian Serambi Indonesia, Oktober 2004

PUISI: Takdir Ibu

Oleh: Abdul Razak M.H. Pulo

Ibu, ada deru bayu dalam perutmu
geloranya usung takdir
jiwai roh yang ditiupkan

Ibu, deru itu lipur hati
ikuti detak irama jantung
hidup bergerak
berarak dalam perutmu
dalam cairan dalam selaput
dera hidup menusuk-nusuk panggulmu
dalam perih engkau meringis
dan lorong takdir terkuak demi waktu

Ibu, anyir merah darahmu
gairah tangis semesta
diam dalam hangat dadamu
dan angin takdir berhembus tak henti

Banda Aceh, 22 Desember 2007
Puisi ini telah dimuat Harian RajaPost

OPINI: Membaca Memperkaya Jiwa

Oleh Abdul Razak M.H. Pulo

Siapa pun yang terhibur dengan buku-buku, kebahagiaan tak akan sirna dari dirinya
[Ali bin Abi Thalib]


Membaca itu memperkaya jiwa, tapi kenapa kita terlalu malas untuk membaca. Sebenarnya, kita bisa membaca apa saja, apa itu koran, majalah, novel, kumpulan cerpen, ensiklopedia, dll. Kita bisa memulainya dengan membaca buku-buku yang kita sukai, kalau memang belum sanggup membaca buku-buku filsafat – yang kabarnya berat. Membaca itu membuat kita seolah-olah sedang berbicara dengan pengarangnya yang hebat-hebat itu. Membaca itu ibarat mendengar kuliah dari berbagai penulis dunia terkenal. Penulis adalah “guru” kita. Kita membayangkan dia sedang bercakap-cakap dengan kita dalam bukunya.

Tak ada seorang pun di dunia ini yang tak mengharapkan kebaha-giaan dan kekayaan menari-nari becengkrama dengannya dalam kehidupan-nya. Kekayaan di sini bukan berarti kaya akan materil saja, tetapi juga kaya akan jiwa. Yang salah satunya bisa kita peroleh melalui membaca.

Lantas bagaimana membaca itu bisa memperkaya jiwa? Dewi adalah seorang yang gemar membaca; membaca apa saja, di mana saja. Dalam pergaulan ia akan tampak berbeda dari teman-temannya. Komunikasinya lancar, dan bahasanya enak didengar. Pengetahuannya luas. Soal informasi ia terdepan. Bicaranya berisi. Ia akan tampak lebih dewasa daripada umurnya, bahkan terkadang dari mulutnya meluncur kalimat-kalimat filosofis yang membuat teman-temannya tercengang. Kalimat-kalimat itu, bisa jadi, terangkai begitu saja, yang merupakan intisari dari berbagai hal yang pernah ia baca. Ia tahu lebih mendetil tentang banyak hal, sehingga saat ia berbicara teman-teman di sekitarnya mendapatkan sesuatu yang baru, sesuatu yang lebih lengkap darinya. Ia pembicara yang baik. Ia cerdas dan berwawasan luas. Teman-temannya memujinya. Ia senang. Ia bahagia dan percaya diri. Ini akan menjauhnya dari stress. Jiwanya kaya. Jiwanya bahagia.

Sayangnya, banyak di antara kita malas membaca. Ini kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Terkadang koran pun, semisal Serambi Indonesia, jarang kita sentuh. Kenapa di dalam robur Darussalam – Kota kita tidak membaca kumpulan cerpen, tapi hanya melirik kiri kanan, atau hanya menatap ke depan melihat fatamogana di jalan-jalan penuh debu paska tsunami? Kenapa dalam bus atau L-300 Banda Aceh – Bireuen penumpang tidak membaca novel, tapi mengisap rokok. Kenapa di halaman kampus yang berpohon rindang sambil minum teh botol, dengan angin sepoi yang menggoda jiwa mahasiswa tidak membaca buku teks kuliah tapi main catur? Kenapa di kapal Pulo Rondo dari Ulee Lheu – Balohan Sabang penumpang tidak membaca antologi puisi, tapi hanya memandang riak-riak air bergelombang sambil duduk diam membisu, padahal kalau membaca sebuah buku akan makin asyik karena di dalam kapal tersebut mengalun musik dari lagu-lagu yang lagi ngetop. Kenapa di ruang tunggu dokter spesialis di Cempaka Lima, misalnya, pengantar pasien tidak membaca kumpulan cerpen islami tapi asyik kirim-baca sms?

Kemalasan kita ini, membuat otak kita mandek, dingin dan beku bagai batu gunung. Tak ada informasi baru yang masuk ke dalam kepala kita, selain yang kita dengar atau tonton dari tv. Padahal menurut Frank Gruber, 1944 “buku adalah benda luar biasa. Buku itu seperti taman indah penuh dengan bunga aneka-warna, Seperti permadani terbang. Yang sanggup melayangkan kita. Ke negeri-negeri tak dikenal sebelumnya”. Buku adalah sumber nutrisi otak.

Membaca buku-buku sastra sejak dini akan menanamkan rasa ketagihan membaca buku, yang berlangsung sampai seseorang menjadi dewasa. Rosihan Anwar (kini 83) tetap membaca 2 buku seminggu. Buku apa saja. "Jiwa saya merasa haus kalau saya tak baca buku," kata beliau. (Taufik Ismail)

Di kampus kami, Fakultas Kedokteran, berlaku doktrin “membaca itu bukan hobi, tapi kewajiban”. Membaca 1 hingga 3 buku seminggu tanpa memperhatikan ketebalannya, merupakan prestasi yang sangat baik.

Mari kita membaca, siapa tahu kita juga akan gemar menulis. Karena membaca dan menulis adalah pasangan paling romantis di dunia. Dan menulis akan memperkaya raga. Ingin kaya jiwa-raga? Membaca dan menulislah.

“Betapa indahnya jika tulisan kita kelak dibaca, diperbincangkan, dan diapresiasi oleh banyak orang, bahkan kadang ditanggapi dan diperdebatkan oleh beberapa penulis lainnya. Betapa indahnya jika kita mendapat sejumlah honorarium yang lumayan sebagai imbalan tulisan kita yang dimuat tersebut”. Sebut M. Arief Hakim dalam bukunya Kiat Menulis Artikel di Media.***

Banda Aceh, November 2006

PUISI: Garis Misterius

Oleh Abdul Razak M.H. Pulo

dari gumpal hitam awan
entah itu air entah angin,
turun gulung berputar
menusuk pori laut ule lhee
percikkan air putih berbuih
bagaikan bor, dekati sebuah boat
ia terus berjalan menuju pantai
makin lama makin besar.
besar di atas mengecil ke bawah.
bentuknya bagai naga menghujam lautan.
untuk menyapa leluluhurnya
yang telah lelap ratusan tahun di perut samudra
langit rupanya sedang berdamai dengan lautan
melalui sebuah garis misterius

Ulee Lheu, Banda Aceh, Maret 2006

OPINI: Dan Damailah di Nanggroe

Oleh Abdul Razak M.H. Pulo

Konflik puluhan tahun mereda. Tsunami menerjang membawa air hitam pekat, kemudian diikuti datangnya angin takdir pembawa perdamaian. Ia berhembus dari Helsinki dengan aroma sejuk salju. Perdamaian yang diperoleh dalam balutan salju itu memutihkan hati merah pekat yang digerogoti dendam turun temurun. Sungguh mengesankan kedua peristiwa terkait tersebut. Dan keduanya mutlak murni misteri rahasia Tuhan. Siapa nyangka, dibalik gelombang hitam tsunami, tersembunyi pesan damai seputih salju.

Begitu pedihnya konflik. Semua kita menentang ia kembali. Begitu perih kita berpisah paksa dengan dengan orang-orang yang kita cintai. Begitu kejamnya perang. Hancurkan berbagai sisi kehidupan. Kini, konflik dan perang, tak ada lagi tempat di hati masyarakat Aceh.

Menurut Karl May semua kesalahan harus diperbaiki, semua utang harus dibayar sampai lunas, begitulah keadilan yang digariskan Tuhan. Hukum yang berkesan keras namun sekaligus pemurah ini berlaku untuk keseluruhan bangsa maupun untuk masing-masing orang, dan mereka yang luput dari masa sekarang patutlah khawatir akan masa depan. Dan tak boleh lupa akan kekuatan dari saling memaafkan. Cinta itu hadir dari jiwa yang merdeka.

Hidup damai idaman lama rakyat Aceh. Bebas bergerak ke mana kaki melangkah. Mencari rezeki, mengolah ladang, kebun, yang sebelumnya ditelantarkan. Tak lagi was-was dalam perjalanan, yang dulunya, selalu dihantui dengan razia di sepanjang jalan. KTP tak ada, nyawa melayang. Belum lagi, denyut jantung selalu meningkat tatkala mendengar rentetan tembakan. Bahkan ban mobil meledak pun disangka bom, lalu diikuti rentetan tembakan kaget. Tiba-tiba suasana menjadi panas. Api bergelora. Rumah dan toko hangus. Beberapa orang mati tertembak kemudian. Perasaan kita tak pernah bebas, ansietas menjadi penyakit massal. Dan kini, damai abadi sudah di depan mata. Jangan biarkan ia pergi lagi.

Peristiwa tsunami dan disusul perdamaian ini juga telah membuka tabir Aceh ke dunia internasional. Orang dari berbagai belahan dunia, sudah bisa datang ke Aceh. Kini Aceh ibarat sebuah dunia kecil. Berkumpulnya berbagai bangsa. Banyak sekali hal positif yang dapat dipetik masyarakat Aceh.

Dalam berbagai segi kehidupan, kita berharap akan semakin maju, mengejar ketertinggalan. Kita semakin terbiasa dengan bahasa Inggris. Fakultas kedokteran Unsyiah, misalnya, sudah menjalin kerja sama dengan salah satu universitas di Jerman. Saat ini pun ada seorang mahasiswi Jerman yang sedang melakukan penelitian di sini. Sebentuk kerjasama, yang harus dimanfaatkan baik-baik.

Pada suatu hari awal Maret, saya dan teman Jerman itu menuju Ulee Lheu, ingin menikmati suasana sore di pinggir pantai. Tapi sayang cuaca saat itu mendung. Tepat berada di ujung jembatan Ulee Lheu, saya katakan padanya, di sini Karl May pernah singgah. Karl May si penulis kisah petualangan dan perdamaian melalui tokoh-tokohnya seperti Winnetou si Kepala Suku Indian Apache, Kara Ben Nemsi, dan Old Shutterhand itu menumpangi kapal Yin, yang juga ditemani dokter Tsi dari tiongkok, serta seorang misionaris dari Amerika bersama putrinya. Teman saya itu begitu kaget mendengar hal yang belum diketahuinya meski ia telah melahap buku-buku Karl May. Lalu saya katakan padanya “Ada percikan Karl pada dirimu”. Dalam suasana mendung, di kawasan yang sangat parah diterjang tsunami itu, tiba-tiba muncul sebuah garis dari langit di tengah lautan, disertai turunnya hujan.

Teman Jerman saya nyelutuk “hei... dan langit pun berdamai dengan bumi melalui sebuah garis misterius”. Karena kami tidak pernah melihat fenomena alam seperti itu sebelumnya, di antara takut dan penasaran, kami berusaha tetap bertahan di sebuah warung pinggir pantai. Saya mengilustrasikan “garis damai” tersebut di atas secarik kertas: Dari gumpal hitam awan. Entah itu air entah angin, turun gulung berputar. Menusuk pori laut Ule Lhee. Percikkan air putih berbuih. Bagaikan bor, dekati sebuah boat. Ia terus berjalan menuju pantai. Makin lama makin besar. Besar di atas mengecil ke bawah. Bentuknya bagai naga menghujam lautan. Untuk menyapa leluluhurnya yang telah lelap ratusan tahun di perut samudra. Langit rupanya sedang berdamai dengan lautan melalui sebuah garis misterius.

Dan ternyata malam harinya berdengung isu adanya tornado di kawasan Ulee Lheu, hingga banyak penduduk di kawasan Lampaseh Kota berhamburan ke Masjid Raya.

Dalam damai ini, kita bisa bersosialisasi dengan berbagai bangsa di dunia, yang kebetulan kini sedang membanjiri ranah Serambi Mekkah. Kita dapat pelajaran. Kita dapat ilmu. Tentu budaya kita tidak boleh terkikis budaya mereka. Mengambil nilai positif dari apapun yang kita temui atau alami, adalah sikap bijak yang perlu diasah oleh setiap generasi Aceh.

Mengingat tak ada satu bangsa pun lebih unggul dari bangsa lainnya. Juga tak ada satu suku lebih unggul dari suku lainnya. Setiap insan itu ciptaan Tuhan. Satu hal yang pasti, setiap orang itu punya kelebihan masing-masing. Dan sebagai orang bijak, kita patut belajar sesuatu dari setiap orang yang kita temui. Setiap suku, ras, dan bangsa pun harus melihat yang lainnya untuk menghindari kesalahannya dan mencontoh kebaikannya. Dengan melakukan hal itu, kita mengakui kesalahan kita di hadapan seluruh umat manusia, dan melalui pengampunannya kita memperoleh kekuatan lahir dan batin untuk membalik kekurangan kita menjadi kelebihan.

Saat ini kita sedang menanti lahirnya UU-PA yang aspiratif. Undang-undang yang akan menjadi jalan keluar dari mencairnya pemberontakan menjadi kerjasama yang apik membangun bangsa. Ada keyakinan besar dalam diri saya bahwa pemerintah kali ini tidak akan mengulangi kecorobohan pemerintah masa lalu – yang entah sengaja atau tidak – selalu mengingkari janjinya kepada rakyat Aceh.

Namun, kita masih saja tetap khawatir mengingat masih ada pihak-pihak yang mencurigai RUU-PA. Kita khawatir RUU-PA itu akan dipreteli hingga tak lagi sesuai aspirasi rakyat Aceh. Rakyat Aceh sudah cukup kecewa dan menderita oleh berbagai sebab. Kekecewaan akan menciptakan kenekatan. Semakin dalam suatu kekecewaan, semakin berujung ia pada pemberontakan.

Betapa sejuknya hati kita bila mendengar ucapan seperti kata Pimpinan MPR Hidayat Nur Wahid pada diskusi Muswil-I DPW PKS NAD “Bila dilihat pasal demi pasal, yang tercantum dalam RUU-PA, maka seluruhnya akan bermuara pada kesejahteraan masyarakat Aceh dan tidak ada satu butir pasal pun yang bertentangan dari institusi negara kesatuan RI” (Medan Bisnis, 1 April 2006).

Orang aceh itu sangat fleksibel dan terbuka. Bahkan Karl May, seorang penulis asal Jerman yang pernah singgah di Kota Radscha (baca : Kota Radja), dalam bukunya Und Friede Auf Erden melalui Tokoh Sir John, melukiskan orang melayu Atjeh sebagai orang terbaik di dunia, gagah, cerdas, bertenggang-rasa, pemaaf, tidak egois, adil, dan terutama ramah. Namun, melalui tokoh Pemuka Adat, Karl May menyeimbangkan pujian tersebut “Di sini sama saja seperti di negeri Anda: kenistaan melawan kemuliaan, satu orang cenderung ke sini, satu orang cenderung ke sana, dan hanya melalui perbuatan nyata, bukan dengan kata-kata indah, secara lambat laun segala sesuatu dapat diangkat dari keterpurukan”. Mungkin hal-hal seperti ini yang tidak disadari oleh ‘orang-orang Jakarta’.

Karena harapan itu selalu ada, kekhawatiran bisa jadi berkurang. Harapan itu bagai seekor burung yang bertengger di dalam jiwa, yang mendendangkan lagu tanpa syair dan tidak pernah berhenti sama sekali, seperti dilukiskan Emily Dickinson penyair Inggris.

Kesamaan denyut kemanusiaan yang memukau di Aceh saat ini harus dipelihara baik-baik. Saya yakin, semua pihak akan bersatu pakat memelihara dan melanggengkan perdamaian ini layaknya sebuah kisah cinta sejati. Dan damai di Aceh akan abadi, melalui sebuah “garis damai” dari langit.***

Februari 2007
Tulisan ini Dimuat Harian RajaPost, Maret 2007

Selasa, 15 April 2008

PUISI: Nafsu

Oleh: Abdul Razak. M.H. Pulo

Nafsu itu selalu girang
di kala musim hujan
subur jamur tumbuh di lapangan

Sosok-sosok birahi penuh
di musim hujan gelap mata,
mengira jamur-jamur itu alat kelamin

Maniak...
demi lima menit kenikmatan
rela robohkan logika
kangkangi moral etika
bintik hitam mata jadi hijau
silau...
lupa lautan
lupa daratan
terperosok dalam nista
terseok dalam nestapa
tersungkur dalam angan
terbenam dalam faktur
terpekur di rumah sakit jiwa
yang berbau khas schizophrenia

Banda Aceh, Januari 2004
Puisi ini dimuat Harian Serambi Indonesia, 2004

OPINI: Jadilah Penulis Nakal

Oleh: Joni Ariadinata

Menulis adalah menciptakan sebuah medan tempur. Medan tempur yang asyik dan penuh kebebasan. Bebas, penuh imajinasi, dan kreatifitas. Medan tempur milik penulis, adalah medan yang hanya miliknya sendiri. Kekuasaannya mutlak, tunggal, tak bisa diganggu-gugat.

Ketika proses peperangan dikobarkan (dalam medan tempur itu), maka tak ada orang lain berhak campur tangan: tak ada teman, tak ada sahabat, tak ada saudara; ”apalagi musuh! Ketika penulis tengah menulis, maka semuanya harap minggir. Ia harus berkata: “Maaf coy! Ini dunia gue...”. Penulis adalah raja.

Alangkah berbahagianya penulis yang telah bebas. Alangkah enak menjadi raja. Dan setiap penulis tentu ingin menjadi raja. Tapi sebagaimana seorang raja, yang kemudian ia bisa menikmati segala macam kebebasan itu, maka ia harus memiliki banyak syarat. Di antara syarat yang paling sederhana (tapi juga susah lho, hehe...), adalah menguasai betul setiap persoalan yang ada di “wilayah kekuasaannya”.

Apakah wilayah kekuasaan yang harus dipahami seorang penulis yang ingin menjadi raja? Tentu, hal pertama adalah bahasa (beserta segala perangkat pengetahuan tentangnya), kemudian tema, kemudian teknik bagaimana tema itu dibahasakan, kemudian pengetahuan tentang segala yang berhubungan dengan tema yang ditulis, kemudian, kemudian... uuuuah! (banyak amat sih kemudiannya?)

Ada banyak penulis yang ingin bebas seperti raja tapi tetap tak bisa bebas karena terbentur oleh teknik misalnya, terbentur oleh rumitnya tema misalnya, terbentur oleh kurangnya pengetahuan tentang apa yang ditulis misalnya (mungkin karena penulis ini kurang menyukai membaca), terbentur oleh, terbentur oleh... uuuah (terbentur oleh apa lagi?).

Tapi baiklah, kita lupakan sejenak benturan-benturan yang membuat pusing itu. Kita bayangkan saja bahwa semua persyaratan untuk menjadi raja telah kita taklukkan, maka kita telah menjadi penulis yang bebas!

Setiap penulis memang harus berjuang untuk membuat dirinya bebas! Alangkah enaknya penulis yang bebas. O-la-la.

Maka lihatlah Putu Wijaya yang dengan seenaknya mempermainkan logika pembacanya dengan kisah-kisahnya yang spektakuler dan kadang-kadang di luar nalar biasa.

Maka lihatlah betapa enaknya menjadi Budi Darma yang seenaknya mempermainkan karakter-karakter tokoh dalam cerpennya menjadi karakter yang kadang menjengkelkan, membuat pusing, gregetan, sebel, atau bahkan lucu.

Maka lihatlah betapa enaknya Danarto mempermainkan bahasa sehingga dalam cerpennya kadang-kadang pembaca dibawa terombang-ambing seperti diseret tsunami atau dilemparkan dalam jurang 3000 meter!

Maka lihatlah betapa enaknya Iwan Simatupang mempermainkan akal pikiran pembacanya sehingga mereka serasa dibawa dalam teka-teki filsafat yang berputar-putar mirip labirin.

Maka lihatlah, alangkah enaknya... uuuah (nah lho, ternyata memang banyak enaknya.) Haha. Maka siapa yang tak ingin menjadi raja?

Oke, marilah kita lupakan dahulu segala rintangan yang menghadang; yang membuat pusing dan bisa mengendorkan semangat kita untuk menulis. Marilah sekarang kita berkelana untuk menikmati cerpen yang dipilih Annida kali ini. Sebuah cerpen “absurd” yang begitu bebas, yang ditulis sobat kita dari Aceh, Abdul Razak M.H. Pulo, dengan judul: Cahaya Hijau.

Lihat, betapa dengan enaknya Abdul Razak mempermainkan imajinasi pembacanya lewat tema yang nyaris secara logika biasa “tak masuk akal”. Ia menciptakan tokoh sebuah metafor dari penafsiran realitas yang ia wujudkan menjadi lambang-lambang yang hidup, yakni “cahaya hijau”, “mahluk coklat”, dan “orang-orang putih”. P

enggunaan metafor ini, memperluas kekayaan penafsiran pembacanya. Di tangan penulis, metafor-metafor yang dibentuk menjadi tokoh-tokoh yang seolah-olah hidup itu, menggiring ke arah persepsi tertentu dari tema yang digali.

Cerpen ini berbicara tentang Aceh. Tentang tiga kekuatan yang tarik menarik (yang hingga kini dirasakan oleh setiap penduduk Aceh), dimana ketiga kekuatan itu menghempaskan tokoh “aku” (atau orang-rang Aceh pada umumnya) pada keputusasan untuk memilih: manakah yang benar? Manakah yang jujur? Manakah yang betul-betul tulus?

Trauma kekerasan yang dialami bangsa Aceh memang teramat dahsyat. Perang, bencana, serta ratusan pertanyaan-pertanyaan lain yang kadangkala bisa menimbulkan sikap pesimis.

Ditarik dari perspektif religius, cerpen ini juga menanyakan sesuatu yang mendasar tentang takdir: apakah sesungguhnya yang diinginkan Tuhan terhadap Aceh?

Abdul Razak dengan cerdik dan nakal mempermainkan simbol-simbol yang tepat untuk menyampaikan kegelisahannya--dengan keindahan yang tidak dikorbankan untuk tujuan tertentu. Kenakalannya tidak saja pada eksplorasi tema, akan tetapi juga didukung oleh bahasa; sehingga cerpen ini bisa dinikmati tanpa sedikitpun intervensi pengarang yang (biasanya) berwujud indoktrinasi terhadap mana yang “baik” dan mana yang “buruk”.

Kebebasan penulis untuk mempersilahkan pembacanya berpikir dan memutuskan, membuat cerpen ini memiliki daya tawar yang baik. Kelebihan-kelebihan inilah, yang saya kira, membuat cerpen ini layak buat dibaca kawan-kawan kita sebagai sebuah model dimana “kenakalan” serta “kebebasan” adalah hal terpenting dalam membuat sebuah cerpen yang baik.

Demikianlah, imajinasi yang luas tak terbatas telah ditawarkan Abdul Razak sebagai sebuah model, dimana eksplorasi sebuah cerita pendek bisa berwujud apa saja. Dengan “kebebasan” yang dimiliki Abdul Razak dalam menciptakan dunianya sendiri, dengan menciptakan tokoh-tokohnya yang tidak terikat dalam konvensi biasa, ia telah memberi contoh bahwa hakikat “logika cerita” sungguh-sungguh berbeda dengan logika biasa. Logika biasa akan memustahilkan bahwa “cahaya hijau” bisa menjadi makhluk hidup yang berpikir dan bertindak, memiliki nyawa serta kehendak; akan tetapi “logika cerita” bisa saja itu menjadi sah, dan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Pengarang adalah raja, bahkan dalam perspektif yang lebih ekstrim disebutkan bahwa pengarang adalah “tuhan-tuhan kecil” yang bebas menentukan dunianya. Ia bebas menciptakan tokoh (termasuk takdir dari tokoh-tokohnya), bebas menciptakan apa saja yang menyangkut dunia yang ia inginkan.

Tentu saja, kebebasan yang benar-benar bebas, harus ditunjang oleh berbagai perangkat yang harus ia kuasai. Karena tanpa itu, sebuah tulisan hanya akan terjebak pada kengawuran yang sia-sia. Sebab siapakah yang mau membaca tulisan ngawur kecuali mungkin, orang gila? Haha!

Selamat membaca. ***

Jakarta, Mei 2006 Naskah ini dimuat di Majalah Annida nomor 9 tahun XV, 15 Mei-15 Juni 2006

CERPEN: Cahaya Hijau

Oleh Abdul Razak M.H. Pulo

Bertahun-tahun aku dikuasai cahaya hijau. Ia makhluk berbentuk tak beraturan dengan cakar-cakar baja yang setiap saat mencengkram tubuhku. Melumat perasaanku. Menguasai pikiranku. Bisikannya tak kuasa kubendung. Bisikannya menghantam imajinasiku, bahkan mengalahkan egoku. Tergeletak aku dalam dunia ciptaan bayang-bayangnya. Malam seolah tak berganti siang. Kehangatan membeku. Ceria dirundung derita. Di sekelilingku selalu remang-remang laksana senja kala di penghujung musim hujan.

Sebelum cahaya hijau merajai istana kehidupanku, aku bersama teman-teman sekampung ramai-ramai mengabdikan diri tanpa pikir panjang untuk menjadi anggota organisasi terlarang, yang melancarkan serangan kepada pemerintah sah negeri ini. Dilatih kami menggunakan senjata di tengah belantara. Kami melalui malam-malam kelam yang tak bercahaya dan siang-siang lambat yang merayap tak bertenaga. Setelah dua puluh hari diberi bekal keahlian kokang senjata, diajak kami menyerang sebuah pos tentara di kampungku.

Letusan bedil sahut-sahutan bagai lolongan serigala di bawah bayangan bulan purnama. Berdesing-desing peluru, memendar percikan api bagai kepingan-kepingan emas yang melesat di udara. Teriakan-teriakan seakan menjembol gendang telinga. Rintihan teman di sampingku, teman karibku, menghujam perasaan paling sensitif yang aku punya. Aku tiarap. Meraih tangannya. Dia mati! Darah tergenang dalam lubang-lubang bekas jejak sepatu: kental, pekat.
Aku dibangunkan gagak-gagak hitam yang terbang mengitari pucuk-pucuk pohon. Seolah mereka sedang menatap tajam ke arahku. Pelupuk mataku berat kupaksa buka. Segera saja mataku menangkap puluhan tubuh tergeletak kaku. Tak ada yang tegak berdiri. Aku merasa diriku bagai sekerat daging yang siap dicabik gagak-gagak bermata merah itu.

Aku bangkit. Tatapanku nanar menyentuh ruang-ruang kosong di sudut-sudut gubuk pelepah rumbia. Lolongan anjing hutan yang menyelinap di sela-sela pohon memantul ke kupingku. Desir hasrat merah darah kering menganyirkan bau udara, menggelitiki hidungku. Bangkai-bangkai manusia berserakan. Selongsong peluru bertabur tak beraturan. Beberapa pucuk bedil tercampak begitu saja. Pistol di pinggangku masih utuh. Kucabut. Kutembakkan ke udara berkali-kali. Menggelegar. Gagak-gagak buyar.

Cicit burung pipit, lenguhan kerbau. desau angin, gemerisik daun, suara jangkrik, dan lolongan anjing hutan bersatu-padu menggubah simfoni alam menjadi irama nestapa.

Temanku mati. Ayahku pun kudapati mati terpanggang di antara bara api dan puing-puing di atas lantai-tanah gubuk kami. Kematian Ayah membuatku sepi. Tak akan ada lagi kicau burung. Tak akan ada lagi canda saat menjual bakung. Tak ada lagi tempat bertanya baris-baris kitab kuning. Semua sirna, pudar menuju hitam. Kelam. Gulita! “Aku keluarr…” teriakku dahsyat.
Aku keluar. Aku bukan lagi anggota organisasi keparat itu. Aku menyesal. Sia-sia kubergabung. Pistol dan beberapa pelurunya kubuang ke rawa-rawa. Terseok-seok aku berjalan. Pikiranku tertuju kepada Ibu.

“Ibuku, sudah hijrah ke Desa Fajar, kampung nenekku, semenjak ketentraman terenggut dari kampung kami. Ayah tidak mau ikut kala itu, katanya ia akan menyusul setelah panen tiba. Ayahku menanam kacang kuning dan jagung dua-tongkol. Hampir panen. Tapi, kini ayah telah tiada. Seluruh penduduk kampung telah eksodus ke masjid dan sekolah di pinggir jalan raya. Mereka meninggalkan rumah, ternak, sawah, ladang. Tikus, babi, dan kera pasti akan berpesta pora di sana- di lahan-lahan yang terbengkalai.

Berita kematian ayah membuat ibuku sangat terpukul. Ia semakin kurus. Pada saat yang sama, aku mendapati diriku termenung sepanjang hari. Dan aku lebih suka mengurung diri di dalam bilik gubuk kayu peninggalan nenek di Desa Fajar. Sebuah desa yang bergunung-gunung, berlembah—lembah. Dan matahari selalu memberinya sinar secara sempurna.

Tujuh bulan berlalu. Di belakang gubuk, terpacak aku menatap kosong bukit-bukit subur yang melatarbelakangi Lembah Leher Angsa. Tiba-tiba dari dasar lembah keluar cahaya hijau benderang melesat cepat ke arahku. Aku panik. Kaget. Gugup. Cahaya itu membentuk lingkaran parabola melingkupi seluruh tubuhku. Dalam sekejap muncul suara bisikan, tapi terdengar laksana auman singa di telingaku.

Berbagai jenis suara kemudian datang silih berganti. Cahaya hijau berputar-putar melingkari tubuhku. Suara musik mirip irama padang pasir membuai pikiranku, entah dari mana asalnya. Dan pada saat yang sama, cahaya hijau itu mencengkram bumi. Menelusup ke dalamnya. Lalu naik dan menempel di telapak kakiku. Sekejap kemudian, terdengar suara azan. Dan saat itu pula, cahaya hijau berputar-putar di atas ubun-ubunku. Lalu tegak lurus menembus awan dalam hitungan detik.

Beberapa detik berlalu. Cahaya hijau telah kembli. Kini, ia punya banyak lengan panjang sperti gurita. Aku terpana. Ternganga. Dan, oh, serta merta dengan cepat cahaya itu menerobos dari atas. Menembus puncak kepalaku. Terus menyusup sampai leher, lalu ke dada, perut, dan, ahh… ke seluruh tubuhku saat pertama ia masuk terasa sakit sekali, namun beberapa saat kemudian aku merasakan kedamaian yang luar biasa. Hijau. Hijau. silau. Pada saat itulah, aku berjanji kepada si cahaya hijau untuk akan mematuhi segala perintahnya.

Antara diri-sadarku dan cahaya hijau saling berebutan menguasai ragaku. Perintah pertama yang diberikan cahaya hijau adalah menyuruhku mengambil pisau dapur, untuk menggorok leherku sendiri. Aku lakukan. Aku ambil sikap. Kugenggam erat gagang pisau. Kutarik “Sreet…tt..” Darah segar muncurat. Aku tersungkur. Aku mengerang. Meraung kesakitan. Untung saja ibuku, yang sedang menggoreng telur, menangkap eranganku yang perih. Terdengar suara langkahnya berlari. Ia berlutut, di hadapanku mataku yang berkunang. Menarik selendang di kepalanya dengan cekatan. Mengikat lukaku erat-erat supaya darah berhenti. Membalut leherku. Memanggil para tetangga dan membawaku ke rumah sakit. Aku mendapatkan enam jahitan. Aku sembuh. Tapi suaraku parau kini.

Cahaya hijau datang dan marah besar. Kau telah melanggar janji. Kau harus menebus dosa, katanya.

Cahaya hijau, inginkan aku menebus dosa dengan cara mati. Silih berganti kesadaran dan cahaya hijau menguasai ragaku juga jiwaku.

Kepalaku terasa mau pecah. Burai. Sebulan kemudian aku minggat dari rumah, dengan menumpang bus umum menuju ibukota. Malamnya aku tidur di emperan toko di dalam pasar ibukota. Cahaya hijau terus saja menguntitku. Kurang ajar!

Ia datang dan dengan cepat menerobos dari atas. Menembus puncak kepalaku. Terus menyusup sampai leher, lalu ke dada, perut dan berhenti di pinggangku. Sementara, salah satu tangannya yang keras mengebor sampai menembusi telapak kakiku, lalu naik ke paha, dan juga berhenti di pinggang. Kini ia sangat kuat. Ia memutar-mutar tubuhku layaknya sebuah gasing. Ia menarikku tanpa ampun, tak dapat kubendung. Disuruh aku menebus dosa dengan cara mencari kerja, ya kerja. Tapi ke mana aku dibawa? Ia terus menarikku dalam gerimis dan keremangan malam ke markas mahkluk-mahkluk coklat. Aku harus cari kerja di sana, tiada cara lain. Disuruh aku menghantam salah seorang dari mahkluk coklat, dengan cara begitu mereka akan menembakku, sehingga aku akan mati. Tertebuslah dosaku.

Pukulan kuat kepalan tanganku menimpa wajah salah satu di antara mahluk coklat. Berdarah. ia terhuyung dan jatuh. Kemudian aku juga jatuh berguling-guling setelah tinju dan tunjangan teman-temannya menghujam tubuhku. Saat pukulan-pukulan itu menimpaku, tubuhku seolah-olah berserakan berkeping-keping, lalu menyatu kembali. Begitu seterusnya saat pukulan-pukulan mendarat di tubuhku. Tak ada sakit yang aku rasakan. Cahaya hijau masih di dalam tubuhku. Merayap-rayap. Mendenyut-denyut. Lalu terasa tubuhku diguyur dengan air bertubi-tubi, dingin sekali. Aku buka mata. Tersenyum. Cahaya hijau menginginkan aku menebus dosa dengan cara mati. Tapi nyatanya mati belum juga menjemput.

Dikurung aku dalam kamar sempit berjeruji besi. Aku merasa bagai hidup di neraka. Siksaan demi siksaan, pukulan demi pukulan merambahi seluruh tubuhku: kepala, leher, tangan, kaki, perut, punggung, wajah bahkan kemaluanku. Aku ditanya dengan paksa, dibumbui siksaan dan pukulan. Dituduh aku merampas senjata mereka. Aku mengaku saja. Karena mengaku dipukul, tak mengaku juga dipukul. Tak beda.

Seringai-seringai bengis berdisis-desis saat mahluk-mahkluk coklat melintasi bilik jerujiku. Tatapan mereka menghujam manik mataku. Sementara itu, cahaya hijau sangat murka sebab aku masih dapat menghirup udara, meski udara yang kuhirup berat, berbau, dan sangat kotor.
Ibuku di Desa Fajar lagi-lagi terpukul dengan kepergianku yang tanpa pamit, setelah ayahku. Ia mencariku ke mana-mana: tak ada. Dengan putus asa, ibu menjumpai seorang penduduk desa seberang yang memelihara seekor burung beo, yang konon burung itu mampu meramal posisi suatu benda, termasuk posisi manusia yang hilang.

Dan beruntung. Beo itu benar, aku ada di ibukota, katanya. Ibu dan pamanku menyusul ke ibukota berbekal rasa cinta, kasih sayang, dan rindu kepadaku. kami bertemu di markas makhluk coklat.

“Tolonglah, Pak, izinkan anak saya pulang. Saya sangat rindu padanya, Pak,” pinta Ibuku.

“Tidak bisa. Dia perampas senjata. Dia harus dihukum!” jawab makhluk coklat setengah membentak.

Tak diizinkan aku pulang. Ibu menangis. Paman menangis. Aku tidak.

Hari berganti. Minggu berganti. Sepertinya mahkluk-mahkluk coklat itu tak suka melihatku selalu bicara dengan cahaya hijau, meski isi bicaraku hanyalah perjanjian-perjanjian penebusan dosa. Akhirnya, mereka membawaku paksa ke sebuah tempat. Jauh sekali. Seperti di alam mimpi.

Di sana, mahkluk-makhluk putih menyambutku dengan anggun menebar senyum. Aku melayang. Mereka menuntunku. Mereka membimbingku. Mereka baik-baik, tak seperti mahkluk yang kutemui sebelumnya: beringas, kejam, bengis, suka menyiksa.

Mahluk-mahkluk putih itu saling bekerja sama di antara mereka. Mereka bisa masuk ke dalam perasaan, pikiran, dan anganku. Mereka memberiku makanan bergizi. Mereka juga memberiku butiran-butiran merah, putih, biru, coklat, kadang kuning. Aku dapat tidur nyenyak. Cahaya hijau pun sudah tak berdaya, terkulai lemah, matanya layu. Ia hanya dapat menguasai jari-jari kakiku.

Orang-orang putih begitu perhatian kepadaku, juga kepada teman-temanku di tempat yang penuh bayang-bayang abstrak itu. Di situlah aku berada kini, bertahun-tahun.

Banda Aceh, April 2005

Naskah ini dimuat di Majalah Annida nomor 9 tahun XV, 15 Mei-15 Juni 2006

CERPEN: Yang Berbau Khas

Oleh Abdul Razak M.H. Pulo

Saya atau mereka yang tidak waras. Pertama saya menolak tapi akhirnya saya bersedia juga ke sini, ke rumah sakit jiwa yang berbau khas ini. Beberapa polisi membawa saya dengan mobil pick-up. Sampai di sini saya disambut beberapa orang berpakaian putih-putih. Mereka perawat. Raut muka mereka saja yang ramah, tapi sikap mereka jauh dari sifat simpatik. Itu tampak saat mereka menyuruh saya masuk ke ruang unit gawat darurat. Polisi-polisi itu mengawal di kiri-kanan saya. Mendorong-dorong saya. Lucu, saya tertawa sendiri.

Tiba di dalam ruangan saya langsung didudukkan pada sebuah kursi menghadap dokter berkacamata yang duduk di seberang meja. Dia menatap saya tak berkedip. Saya memalingkan muka ke samping kanan, tajam menghadap dinding. Polisi-polisi itu berdiri di belakang saya. Dengan sekali geleng, kini muka saya bertatapan langsung dengan dokter itu. Dia tersenyum. Saya membalas senyumnya, tapi tiga detik kemudian saya mengatup rapat-rapat bibir saya. Mata saya mendelik. Saya mengeraskan otot-otot lengan saya.

Tiba-tiba dokter itu bertanya "Ada yang bisa saya bantu?" dengan raut muka serius.

"Tidak!" jawab saya ketus

"Jadi kenapa saudara dibawa ke sini?"

"Tidak tahu saya, tanya sama bapak-bapak polisi itu. Saya tidak sakit jiwa. Masa mereka tega menangkap saya yang sedang menjalankan perintah makhluk planet."

"Memangnya mahkluk planet itu memerintahkan apa?" Tanya dokter lembut

“Saya harus menyelamatkan bumi ini dari keganasan nuklir, tahu?.”

“Lantas kenapa pak polisi menangkap saudara?”

“Begini, saat itu makhluk planet menyuruh saya mengambil sebuah Honda yang diparkir di pelataran bank BNI. Honda itu akan saya pakai berkeliling untuk menyebarkan berita akan punahnya bumi. Eh, tiba-tiba orang-orang meneriaki saya maling. Dan polisi yang ada di situ segera menangkap saya. Lalu membawa saya ke kantor mereka. Ya, saya jelaskanlah semua bahwa mahkluk planet yang menyuruh saya, berikut segala perintahnya. Eh, tak tahunya sekarang dibawanya pula saya ke rumah sakit jiwa. Apa-apaan ini.”

“Saudara yakin itu mahkluk planet?” dokter itu bertanya lagi

“Yakin. Sangat yakin. Mereka beberapa kali datang dalam mimpi saya. Bahkan saya bisa mendengar bisikannya, dok. Mereka juga bilang akan mengangkat saya menjadi raja.” Jawab saya, kemudian saya berujar dengan suara lirih sambil melemaskan otot-otot lengan saya “Aneh, kalian tidak peduli atas keselamatan bumi. Padahal saya sudah mendapat isyarat dari mahkluk planet kalau bumi ini akan musnah oleh nuklir – yang kini sedang dikembangkan di mana-mana. Kepala geng-nya Amerika. Kalian malah menganggap saya gila.”

Sejenak kemudian mata saya menerawang sekeliling ruangan dan berkata “Nah..nah.. sekarang mereka sedang berbisik lagi.”

“Mereka bisikkan apa?” tanya dokter itu cepat-cepat.

“Dia menyuruh saya lari dari sini, dok!.” Jawab saya sambil bangun tergesa-gesa, lalu menerobos kawalan menuju pintu. Namun, usaha saya sia-sia, polisi-polisi itu segera menyergap saya. Dan atas perintah dokter saya dimasukkan ke ruang tindakan. Saya meronta-ronta. Saya dipaksa berbaring di atas dipan busa. Kaki saya menendang-nendang. Tangan saya menonjok-nonjok. Tapi cengkraman mereka sangat kuat. Lalu kedua kaki dan tangan saya diikat pada tempat tidur dengan tali dari bahan kain. Saya masih meronta-ronta hingga tangan dan kaki saya sakit. Saya lihat seorang perawat sedang menyiapkan sebuah jarum suntik dan satu botol kecil obat. Dipatahkan ujung botol itu. Disedotnya obat di dalamnya dengan ujung jarum. Sekejap kemudian dia menyuntikkannya paksa pada bokong kanan saya. Saya menjerit kesakitan. Beberapa saat kemudian suasana menjadi hening. Yang terdengar hanya sayup-sayup deru pilu daun-daun cemara dilanda angin di depan rumah sakit. Suara itu kian halus, hingga akhirnya tak terdengar lagi.

***

Saat saya membuka mata, beberapa orang berkulit dekil, rambut acak-acakan, bau tubuh menyengat, berdiri di hadapan saya. Mereka memamerkan gigi-gigi mereka yang kotor. Saya berteriak. Meronta-ronta. Mereka beranjak pergi membungkuk-bungkuk sambil tertawa dengan gaya berjalan seperti robot. Rupanya tangan dan kaki saya masih terikat, tapi sekarang saya berada dalam ruangan yang pengap dengan orang-orang aneh di dalamnya. Saya bersama mereka – orang-orang gila? Oh, tidak! Saya terus meronta. Sia-sia. Tak ada yang peduli. Tubuh saya lemah sekali.

Rasanya siang sudah begitu sempurna. Tampak beberapa perawat dibantu tiga orang berpakaian hitam-hitam sedang mempersiapkan makan siang. Melalui pintu jeruji besi, saya melihat sudah ada tiga buah ember di atas lantai dekat pintu. Satu berisi nasi. Satu gulai ikan. Satunya lagi air putih.

Mereka mulai menceduknya satu per satu. Lalu menaruhnya dalam piring plastik. Nasi, ikan, dan kuahnya dicampur. Air pun diceduk dengan gelas-gelas plastik. Ketiga orang berpakaian hitam-hitam itu melakukannya dengan cekatan. Sepertinya mereka sudah terbiasa dengan pekerjaannya itu. Namun, raut wajah mereka tampak kusut kusam seperti orang-orang yang baru sembuh dari penyakit kronis. Sebatang rokok terjepit di antara kedua bibir mereka. Pipi-pipi mereka tampak kurus menceruk.

Beberapa orang di dalam ruangan – berpakaian biru-biru – sudah berdesakan di depan pintu. Tangan-tangan mereka menjulur-julur keluar. Porsi makanan itupun mulai dibagikan. Mereka berebutan. Tertawa cekikikan saat mendapatkannya. Ah, melihat makanan itu saya teringat umpan bebek-bebek saya di rumah.

Saya masih terikat. Saya lapar sekali. Tapi selera makan saya punah sirna dengan pemandangan itu. Mau muntah rasanya. Tetapi, mereka makan dengan lahapnya.

Para perawat itu benar-benar tidak memberi saya makan. Tidak apa-apa. Dikasihnya pun saya pasti tidak akan menyentuhnya.

Menjelang sore, tubuh saya terasa lebih bertenaga. Tidak ada bayangan dan bisikan makhluk planet kali ini. Lagipula, saya senang sekali karena pada sore ini beberapa teman saya datang membezuk.

Teman-teman saya meminta perawat untuk melepaskan ikatan saya. Mereka menjamin saya tidak akan agresif lagi. Salah seorang teman saya mengedipkan matanya ke arah saya. Setelah ikatan dibuka, saya langsung menyongsong teman-teman di jendela jeruji besi. Saya girang. Mereka membawa beberapa bungkus roti, air meneral, sejumlah pil besar, dan sebuah buku catatan serta pulpen. Mereka bilang, pil ini akan membuat saya tahan lapar. Mereka juga bilang bahwa tadi saya disuntik diazepam satu ampul, yang membuat saya tertidur lebih dari satu jam. Mereka berharap saya betah di tempat ini. Tapi, bagaimana mau betah, baunya menyegat sekali. Khas. Mungkin inilah bau orang gila, pikir saya.

Walaupun di dalam ruangan besar ini ada kamar mandinya. Tapi saya tidak akan mandi di dalamnya karena tadi saya melihat beberapa orang mencemplungkan diri ke dalam bak mandi. Air dalam bak juga tampak keruh berbusa.

Menjelang malam. Suasana menjadi lain. Orang-orang mulai berteriak-teriak. Mereka menjadi agresif, hiperaktif. Menguncang-guncang pintu jeruji besi, hingga membuatnya berdentang-dentang menggetarkan gendang telinga. Mereka berlari-lari di dalam ruangan, meraung-raung bagai serigala terkena panah. Saya duduk di sudut ruangan. Dari situ saya dapat melihat para perawat sedang menyiapkan obat. Menaruhnya dalam baki papan bersekat-sekat kecil. Obat-obat itu ada yang putih, kuning, biru, dan pink. Tampaknya obat-obat itu akan dibagikan sekarang. Mereka kian agresif.

Perawat mulai mendekati pintu. Orang-orang di dalam ruangan seperti diaba-aba berdiri terpacak. Lalu, salah seorang perawat membuka pintu jeruji. Tiga lainnya menyusul dari belakang membawa obat. Pada saat yang sama, orang-orang di dalam ruangan mulai bergerak, dan tiba-tiba mereka berdesakan menerobos keluar. Mendorong-dorong tubuh perawat yang membuka pintu. Perawat itu terjatuh. Pada saat itulah saya melihat tiga perawat tadi mengoper baki-baki obat itu kepada orang berpakaian hitam-hitam, yang sepertinya selalu siaga di dekat mereka. Lalu, dengan cepat mereka menendang dan memukul-mukul orang-orang itu. Tanpa ampun mereka menendang, meninju, menyikut, dan membentak orang-orang itu. Sekarang orang-orang itu terdiam, terpacak mematung di tempatnya dan tanpa diperintah mereka langsung menjulur tangan ke depan serupa peminta-minta. Obat pun dibagikan. Tak ada yang menolak. Saya bangkit, dan mengambil bagian saya. Saat jauh dari mereka saya masukkan obat-obat itu ke dalam saku celana.

Saya membatin. Kenapa mereka tega memperlakukan teman-teman seruangan saya seperti itu. Bukankah mereka juga manusia? Mereka bukan binatang jalang, dari kumpulannya terbuang*). Mereka juga dapat merasakan sakit. Jiwa mereka sudah cukup menderita, kenapa fisiknya juga harus didera. Apakah lantaran mereka kurang waras, lantas diperlakukan seperti itu? Di mana hati nurani. Di mana nilai-nilai kemanusian. Saya jadi bimbang, sebenarnya siapa yang gila.

Saya melihat salah seorang dari mereka terhuyung-huyung, lalu roboh tak berkutik di dekat kaki belakang dipan saya. Suasana hening seketika. Para perawat itu kelihatannya tak peduli. Baru setelah beberapa puluh menit kemudian mereka masuk dan membereskan jenazah itu.

Tiga hari kemudian, tanpa ampun mereka menendang, meninju, menyikut, dan membentak orang-orang itu. Kali ini tidak ada yang roboh. Tapi, ada beberapa terhuyung-huyung serupa pemabuk. Suasana hening.

Dua minggu saya di sini, sudah tiga yang roboh. Seperti biasa, suasana pun hening seketika. Dan obat pun dibagi-bagikan. Saya ambil bagian saya, saat tak terlihat mereka saya memasukkannya ke dalam saku celana. Ritual ini terjadi tiga kali sehari. Waktu saku sudah penuh, obat-obat itu saya titip kepada teman saya yang datang setiap dua hari sekali.

Suatu kali, para perawat berusaha mencabik acak rambut gondrong saya karena saya menunjukkan sikap agresif dan bikin gaduh-gelisah. Untungnya tak dinyana datang seorang dokter untuk memeriksa keadaan kami.

***

Saya menceritakan teman-teman saya peristiwa yang kerap terjadi di tempat ini. Saya merekam semua adegan itu. Saya bilang, saya tidak sanggup lagi tinggal di sini. Lidah saya kelu. Hati saya terenyuh. Jiwa saya meronta. Amarah saya mendesak-desak ingin muncrat melumuri wajah perawat-perawat itu. Tak ada cinta kasih di sini. Yang ada hanya maut yang mengitari ubun-ubun kami. Maut yang datang dari kepalan tangan orang-orang yang seyogianya merawat kami. Dan adegan-adegan itu selalu terjadi saat keempat perawat itu kena giliran jaga.

Selama ini, kerap kali surat kabar memberitakan orang-orang yang roboh tak berkutik tak bernyawa itu. Banyak lebam biru kemerahan di beberapa bagian tubuh mereka. Kadang-kadang lidah mereka terjulur keluar, air liur meleleh di sudut-sudut bibir mereka. Air mani pun kadang keluar dengan sendirinya. Otopsi selalu menemukan resapan darah pada bagian dalam kulit kepala atau leher mereka. Ujung-ujung jari tangan mereka membiru. Juga sering ditemukan jejas-jejas trauma tumpul di sekujur tubuh mereka. Bintik-bintik perdarahan pada organ-organ dalam juga adakalanya dijumpai. Tanda-tanda asfiksia begitu kentara.

Saat ditelusuri dan dimintai keterangan oleh wartawan atau polisi, keempat perawat itu selalu menjawab dengan “Mereka saling berkelahi, saling pukul, mereka sangat agresif, ya akibatnya seperti itu. Kami saja kualahan melerainya”, atau “Mereka mengantukkan kepala sendiri ke dinding, itu sering sekali terjadi”, atau “Mereka sulit diatur saat kita beri obat, mereka lari-lari dan terjatuh, kadang kepala mereka membentur kaki tempat tidur.” “Ada juga yang dipukul keroyokan oleh teman-temannya sendiri yang lagi agresif”.

Saat polisi atau wartawan bertanya pada orang-orang di dalam ruangan ini, mereka selalu mengaku dipukuli keempat perawat tersebut. Tapi saat dicross-check kepada keempat perawat itu, dengan santai mereka menjawab “Mereka kan orang-orang gila, Bang.”

Pada sore itu, saya dikeluarkan dari bilik jeruji besi itu oleh seorang perwira polisi yang waktu itu turut mengantar saya ke sini. Sambil tertawa saya pun beranjak membawa bau khas menyengat yang lengket di badan dan jiwa saya.

Keempat perawat itu digelandang ke kantor polisi.***

Medan, 7 Juli 2005

Catatan:
*) “Binatang jalang, dari kumpulannya terbuang”, kutipan dari puisi “Aku” karya Chairil Anwar.
Asfiksia : Keadaan kurangnya oksigen di dalam darah atau jaringan tubuh akibat gangguan pada pernafasan sehingga kehidupan tidak mungkin berlanjut.

Cerpen ini telah dimuat Harian Aceh, September 2007

CERPEN: Kura-Kura dan Perempuan Hamil

Oleh Abdul Razak M.H. Pulo

Semalaman hujan turun lebat menyusui puas dahaga tanah kerontang. Hujan semalam juga surga bagi tumbuhan. Sungai-sungai meluap. Sawah-sawah di kaki gunung tergenang. Halimun selimuti bukit-bukit. Juga rumah Amir kuyup basah seperti baru bebas dari banjir bandang yang sudah surut. Rumah yang diapit dua pohon meranti besar itu terbuat dari kayu dengan atap daun rumbia. Sebuah rumah sederhana yang berada di punggung bukit paling rendah di kawasan perbukitan Paya Langet. Di rumah itulah Amir dan istrinya, Faridah, tinggal sejak lebih kurang enam bulan yang lalu.

“Bang, hujan sudah turun. Kita bisa mulai menanam kacang kuning lagi.”

“Iya, kita harus bersyukur, lagipula aku sudah selesai membajak ladang kita. Tanahnya pasti gembur dan kita bisa menanaminya segera”

Berkas cahaya berpendar menyusup ke dalam titik-titik air hujan yang menggantung di ujung-ujung daun, ilalang, dan rumput-rumput liar. Kilau kemilau bak mutiara, bagai bintang gemintang berukuran mini. Pagi mulai ranum di kala Amir dan istrinya bersiap-siap menanam biji kacang kuning di ladang mereka, ladang yang landai di antara bukit-bukit hijau. Pada batas paling bawah ladang itu terdapat pancuran air yang segar dan jernih.

Matahari mulai menunjukkan keperkasaannya. Amir membuat lubang-lubang kecil pada tanah ladangnya menggunakan sepotong kayu yang ujungnya diruncingkan, sering disebut dengan tungkai. Jarak antar lubang-lubang tersebut kira-kira 30 cm. Istrinya mengikutinya dari belakang sambil menjatuhkan tiga-empat biji kacang kuning ke dalam lubang-lubang tersebut. Lalu ia menyorong tanah di dekat lubang untuk menimbun biji-biji tersebut dengan kaki kanannya. Cukup cekatan, sangat jarang biji-biji kacang itu terjatuh di luar lubang. Hanya satu-dua biji yang kadang-kadang meloncat keluar dari lubangnya. Kegiatan ini dalam Bahasa Aceh disebut dengan teumajok. Keringat mulai bercucuran di tubuh wanita yang sedang hamil muda tersebut.

Menjelang tengah hari, Amir telah membuat lubang pada separuh ladang. Ia berhenti, beristirahat sejenak. Lalu membantu istrinya menjatuhkan tiga-empat biji kacang kuning ke dalam lubang yang telah dibuatnya. Juga cukup cekatan.

“Bang, aku yakin kacang kita ini akan tumbuh subur, dengan panen yang berlimpah nantinya” Kata Faridah sambil menyeka keringat di dahinya.

“Yah, kita doakan saja. Ini untuk persiapan kelahiran anak pertama kita kelak” Ucap Amir seraya mengelus perut istrinya. Satu tangan lagi memegang tungkai.

Faridah tersenyum, dan berkata “Bang, meski hidup kita sederhana, aku tak ingin anak kita jadi petani seperti kita. Dia harus lebih hebat dari kita.”

“Aku mengerti perasaanmu Dah. Aku juga menaruh harapan besar pada anak yang kau kandung ini. Aku sangat yakin. Jadi jagalah kehamilanmu ini baik-baik. Kamu jangan terlampau capek.”

“Iya Bang”, Faridah merebahkan kepalanya ke dada suaminya yang kekar.

Tak jauh dari tempat mereka berdiri, sepasang burung murai bercengkrama dengan asiknya. Mereka coba hinggap di atas salah satu ranting jeruk bali, tapi belum sempat menyentuh ranting, mereka terbang lagi dan saling kejar mengejar. Menghilang di balik bukit.
Amir dan istrinya tersenyum melihat tingkah burung-burung itu, kemudian mereka kembali melanjutkan pekerjaan mereka.


***

“Bang, aku ingin sekali makan ikan lele. Dibakar. Aku ingin yang segar dan masih hidup, tapi jangan lele jumbo yang dijual di pasar itu. Aku ingin Abang menangkapnya sendiri.”

“Oya? Kamu ngidam lele ya…” Amir tertawa.

“Ah abang, orang ngidam ditertawakan. Kok gitu?”

“Sudah-sudah, jangan cemberut seperti itu. Demi kau apapun akan kulakukan”, ucap Amir sambil tersenyum.

Merah merona wajah Faridah mengulum senyum.

Amir bergegas ke belakang rumah, mengambil jala, dan memastikan jala tersebut tidak koyak.
Setelah semuanya dianggap beres, Amir melangkah menuju sungai kecil yang bermuara ke rawa Paya Langet. Sungai itu berada di balik bukit yang paling tinggi kedua.

“Jangan lupa bawa goloknya Bang”, Istrinya mengingatkan.

Faridah bergegas ke dapur, mempersiapkan bumbu dan membakar arang. Bang Amir pasti akan membawa banyak ikan lele, pikirnya.

Jalan setapak tanah liat yang dilalui Amir sangat licin. Golok disematkan di pinggangnya, sedangkan jala di atas bahunya. Terus berjalan ia. Pada suatu langkah yang kesekian, ia terpeleset dan terjatuh. Jala tersangkut pada akar pohon, yang masih mampu menahan Amir sehingga tak sampai berguling ke bawah. Ada beberapa benang jala yang terputus.
Ia kembali berjalan dengan lebih hati-hati. Tak lama kemudian ia tiba di sungai itu. Ia mencari-cari tempat yang cocok untuk mencampakkan jalanya. Ia temukan bagian sungai yang luas dan airnya keruh beberapa meter dari muaranya.

Nah, ini dia tempat yang bagus, pasti banyak lelenya, pikir Amir. Ia mengambil posisi dan melemparkan jala. Pikirannya menerawang kepada istrinya. Ia akan membawa pulang lele yang gemuk-gemuk, berminyak-minyak bila dibakar, gurih bila digoreng.
Ia tarik perlahan jalanya. Perlahan sekali sehingga tak terdengar riak-riak air.
Jala sudah diangkat. “Ya ampun…., lele yang kujala kau pula yang masuk. Dasar kura-kura sialan!!”.

Ia lepaskan kura-kura itu dari jalanya dengan tak sabar. Ia hunus goloknya. “Mampus kau!”. Kura-kura itu terbelah menjadi dua, bersimbah darah, sempat menggeliat sebentar. Lalu terkapar tak bernyawa.

Diambilnya bangkai itu. Dicampakkannya ke dalam sungai. Air menjadi merah darah, menganyirkan bau udara. Lintah-lintah mengeriap hilang timbul di permukaan air.
Amir tak peduli, seolah tak terjadi apa-apa. Namun gema alam yang senyap merekam kematian tak wajar itu. Air, angin, batu, pepohonan berduka. Kristal-kristal air mengerut. Angin memeluk dedaun. Bebatuan membeku. Mereka ingin Amir segera pergi dari tempat itu.
Amir beralih ke bagian sungai lebih ke atas. Lalu ia campakkan jalanya kembali. Perlahan ia tarik jalanya. Perlahan sekali sehingga tak terdengar riak-riak air.

Jala sudah diangkat. Senyumnya mengembang, “Tujuh ekor lele sekaligus!”. Ia tertawa, Pikirannya menerawang kepada istrinya. Ia akan membawa pulang lele yang gemuk-gemuk, berminyak-minyak bila dibakar, gurih bila digoreng.

Pada saat melepaskan lele yang ketujuh dari jala, jari tangan Amir dipatil. Ia mengaduh kesakitan, dan mengisap darah pada ujung jari yang dipatil itu. Segera jari telunjuknya itu membiru.


***


“Dah, aku pulang. Aku bawa tujuh lele Dah..” Amir masuk dengan perasaan gembira ke dalam rumah sambil menenteng lele yang menggeliat-geliat.

Faridah bergegas menyongsong suaminya tercinta, “Wah, besar-besar sekali”, semburat bahagia terpancar dari wajahnya dengan latar dasar berwarna sawo matang.

Dengan penuh rasa bangga Amir membawa lele-lele itu ke dapur. “Ini untukmu Dah, untuk anak kita”.

“Aduh, kenapa jari telunjukmu bang?”

“Biasa, dipatil lele. Nanti juga akan sembuh sendiri”

Sepoi angin yang merayap sepanjang dinding-dinding bukit menerobos masuk ke dapur. Jemari angin menyentuh kepulan asap dari tungku pembakaran, kemudian pecah dan menebar aroma harum ke seluruh ruangan. Harum yang membuat naluri lapar mencuat-cuat.

Pasangan yang masih ada hubungan kerabat ini melewati hari itu penuh bahagia. Menyantap lele bakar yang berminyak-minyak. Dan mereka terbang ke awan meniti warna warni pelangi hingga menjelang surya turun tenggelam dari puncak bukit yang paling tinggi. Di langit, bintang-gemintang pun mulai bertebaran. Bulan hanya tampak setengah purnama.

***

Lima bulan berlalu. Mereka telah memanen kacang kuning. Hasilnya melimpah. Harga jualnya tinggi. Mereka telah menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut kedatangan sang bayi.
Hari-hari seakan berjalan sangat lambat. Amir dan istrinya kini sudah berada di desa, di rumah ibunya Faridah, yang letaknya tidak jauh dari rumah bidan.

Malam itu pukul tiga dini hari. Faridah bertaruh nyawa dalam lumuran darah dan rintihan kesakitan. Namun baginya darah itu adalah obat bius yang paling mujarab, dan rasa sakit itu adalah kenikmatan yang tiada dua. Tiada tara .

Beberapa pasang mata yang menyaksikan kelahiran itu saling pandang. Lalu menunduk. Tak bicara sepatah kata pun. Mereka beristigfar, meneteskan air mata. Faridah tak berdaya, tak bergerak, matanya terpejam. Tangisan bayi memecah malam, padamkan simfoni jangkrik. Bidan itu menggeleng, dan berucap pelan. “Karena kehendak Allah, bayi ini lahir cacat. Kaki dan tangannya buntung…”. Bahagia telah pergi menyelinap di bawah kepakan sayap ilusi.***

Bireuen, 17 Februari 2007
Naskah ini belum pernah dimuat