Kamis, 17 April 2008

KISAH NYATA: Ini Bukan Mimpi

Oleh : Abdul Razak M.H. Pulo

26 Desember 2004

Begitu dahsyat gempa ini. Tak pernah kurasakan seumur hidupku, bahkan dalam mimpi sekalipun. Saat gempa itu mulai menggoyang-goyang bumi, menderak-derakkan tanah, aku dan Anum sedang sarapan di kantin. Mula-mula hanya berupa goyangan halus, kami tidak begitu peduli. Terus kami santap nasi gurih kami.

Beberapa detik kemudian, hentakan, goyangan, dan derakannya semakin keras. Bergemuruh retakkan dinding-dinding kantin. Kami berlari keluar. Jantungku berdebar-debar. Semua orang di kantin yang tadinya cuek pun berhamburan mencari tempat lapang. Sempoyongan kami berlari ke pelataran parkir yang jaraknya sekitar lima belas meter dari kantin.

Tanah bergemuruh. Kami duduk bersimpuh. Aku menelepon adikku di ruko. Nada masuk, tapi tak diangkatnya. Apa dia masih tidur, pikirku. Kucoba sekali lagi. Tak berhasil, tak ada nada. Jaringan putus? Aku benar-benar kuatir. Ruko kami dua lantai. Dua adik kandung dan dua adik sepupuku tinggal di sana. Bagaimana mereka?

Gempa makin kuat. Pohon-pohon seolah akan tercerabut dari akar-akarnya. Gedung-gedung akan runtuh berhamburan. Kami masih duduk bersimpuh di atas pelataran parkir. Beberapa orang yang masih coba berdiri di belakang kami, tiba-tiba terjatuh. Seorang ibu tampak tak sadarkan diri. Dari mulut kami terus meluncur kalimat-kalimat Ilahi. Kami tidak tahu apakah kami akan mati hari ini. Roh kami seolah sudah dipanggil-panggil malaikat pencabut nyawa. Bangunan Poli Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin (RSUZA) di samping kami retak-retak. Kaca-kaca jendelanya pecah berhamburan ke tanah. Kalau bangunan itu rubuh, pasti menimpa kami. Jangan. Jangan rubuh!

“Bang, apa ini kiamat bang? Tanya Anum panik sambil menangis.

“Tenang Num, tenang.. ini bukan kiamat. Gempanya pasti akan berhenti.” Aku coba tenangkan Anum sekaligus mensugesti diriku sendiri. Lailahaillallah…Allahu Akbar. Ampunilah dosa-dosa kami ya Allah.

Tiba-tiba terdengar dentuman keras tak jauh di depan kami, yang belakangan kuketahui dentuman itu adalah suara akibat runtuhnya kubah Masjid Lampriet, di masjid itu aku dulu pertama kali bertemu dengan ketua FLP Aceh saat itu, Cut Januarita.

Sekitar enam menit kemudian, suasana menjadi hening. Gempa berhenti. Tetapi rasa pusing masih bergelayut di kepala kami. Kami coba berdiri. Ya, gempa benar-benar sudah berhenti. Kami lega. Ibu yang tadi tak sadarkan diri masih pingsan, dikipas-dikipas oleh seorang laki-laki muda, mungkin anaknya. Anum pucat pasi. Aku juga, menurut Anum. Kami berjalan perlahan-lahan menuju kantin. Kami bayar makanan kami yang belum habis kami makan. Lunas. Kami tidak punya utang jika kami harus mati hari ini.

“Num, aku harus pulang. Aku harus mengetahui kabar adik-adikku.”

“Oke bang. Hati-hati. Aku juga mau pulang.”

Sejak tadi malam aku dan Anum di rumah sakit ini. Ada dua lagi teman kami tapi entah di mana mereka, terakhir kami berpisah di koridor. Kami tugas jaga di Bagian Saraf, karena kami sedang coas di sana. Jadwal jaga kami sampai pukul dua siang ini.

Aku bergegas ke jalan raya, naik sebuah labi-labi. Dalam tiga menit aku sudah berada di simpang jalan Peurada I - jalan menuju ruko-ku. Cepat-cepat aku melangkah, sambil menyapu pandangan ke sekelilingku. Semua orang berada di luar rumah masing-masing. Dari kejauhan aku melihat ruko-ku samar-samar. Dan ia tampak masih tegak berdiri diapit empat ruko lain di kiri-kanannya. Dalam satu menit sejak aku turun dari labi-labi, aku sudah berada di ruko. Kudapati adik-adikku di luar. Mereka selamat. Adikku satu perempuan satu laki-laki. Dan dua adik sepupu, juga satu laki-laki satu perempuan.

Di lantai bawah, kudapati kaca akuarium pecah berkeping. Airnya menggenangi lantai. Ikan-ikan sudah dimasukkan ke dalam sebuah ember. Komputer-komputer masih utuh di tempatnya - di atas meja masing-masing. Kami membuka rental komputer untuk meringankan orangtua kami yang berdomisili di Kabupaten Bireuen.

Sekitar tiga menit aku di ruko. Aku harus kembali ke rumah sakit. Setelah mengingatkan adik-adikku supaya tetap berada di luar ruko dan jangan naik ke atas, karena masih banyak gempa susulan. Lalu aku ambil sepeda motor dan melaju kencang ke rumah sakit. Tiba di rumah sakit, aku bergegas ke ruang saraf - tempat aku bertugas - yang berada paling ujung, dekat kamar mayat, untuk melihat pasien-pasien kami. Butuh waktu empat menit untuk sampai ke sana, itupun dengan jalan cepat ala coas. Di kiri kanan koridor, di atas taman-taman, tampak pasien-pasien ditemani perawat dan coas. Mereka dikeluarkan bersama bed. Dan banyak di antara mereka selang infus-nya masih terpasang, terutama anak-anak.

Tiba aku d ruang saraf, aku melihat seluruh pasien sudah dievakuasi ke luar ruangan. Lalu, aku masuk ke kamar coas. Memakai jas coas, dengan sebuah stetoskop dalam saku kanannya. Setelah beres mengurus dan memperhatikan pasien, aku melangkah ala coas ke IGD. Di sana banyak pasien korban gempa yang butuh pertolongan.

Sampai di depan ruang rawat anak, aku mendengar kegaduhan teriakan orang-orang. Histeris. Ada semacam suara bergemuruh. Berdentang-dentang. Sayup-sayup. Sambil berjalan dalam keadaan penasaran apa yang tengah terjadi, aku bertemu dengan Bang Nasrul, seniorku. Kami salaman. Langkahnya terburu-buru. Napasnya cepat. Dalam detik itu juga ia mengatakan ”Air laut naik. Lampulo sudah jadi laut. Lambaro Skep juga. Sebentar lagi Lamprit, mungkin lalu ke rumah sakit ini. Kalau ada saudara di Lamprit habungi segera. Cepat…”

Aku terpana. “Air laut naik?”

“Ya”

“Betul Bang? Dari mana abang tahu”

“Betul. Kau dengar suara itu?”

Sesaat aku terpaku di tempat. Tsunami? Benarkah? Bisikku dalam hati. Masya Allah…

Tanpa basa-basi lagi, dia terus melanjutkan langkahnya, entah siapa yang akan diselamatkannya. Apa yang harus kulakukan. Ke mana aku pergi. Akankah aku selamat? Akankah air itu melumatkan seluruh umat manusia di Banda Aceh ini?

Ke mana aku berlari, sementara teriakan-teriakan histeris semakin pilu. Menyayat hati. Aku masih berjalan pelan. Sementara semua orang - satpam, coas, perawat, pasien, keluarga pasien – panik. Panik sekali.

Gemuruh itu semakin dekat. Semakin nyata. Semakin terasa aroma maut yang dibawanya. Baunya yang khas, warnanya yang pekat membuat bulu kuduk merinding. Tatapanku nanar. Lalu aku berlari cukup kencang ke IGD. Aku tak peduli. Aku harus hidup, pekikku dalam hati.

Sampai di IGD, aku sempat membantu sejumlah perawat yang sedang mengangkat pasien korban gempa ke lantai dua. Pasien-pasien itu kami taruh begitu saja. Kalau boleh dibilang sebenarnya kami melemparnya, disambut beberapa orang yang ada di tangga.

Air datang begitu cepat. Sangat cepat. Bergelora. Bergulung-gulung. Menghantam, menghanyutkan apa saja. Tak peduli, ia menggila, mengganas. Kami lari menghindari air. Air mengejar kami. Hanya beberapa detik, air mengenai kaki kami, terus lutut. Paha. Pekat hitam warnanya. Saling berpegangan kami menanapaki anak tangga. Teman-teman kami di atas tangga menggaet tangan kami. Begitu cepat air naik. Sepinggang kini. Ditarik kami ke atas.

Kami bersyukur, hingga detik ini kami masih selamat. Dari tangga kami bergegas ke lantai dua. Lalu ke lantai tiga. Di sana, terdapat puluhan, mungkin ratusan penduduk sekitar rumah sakit yang menyelamatkan diri. Ditambah beberapa dokter, perawat, dan coas. Hampir semua mereka menangis.

Dikomandoi dokter Iskandar- PPDS bedah - aku dan beberapa teman coas mengobati para korban gempa yang kami angkut tadi. Ada yang terluka, patah tangan, patah kaki. Mereka sekarat, malah seorang ibu yang sedang melahirkan meninggal dunia. Panggulnya sempit, bayinya tak bisa lahir. Ia mengalami perdarahan. Sekuat tenaga dokter Rosdiana membantunya, tapi Allah berkehendak lain.

Kami benar-benar tidak tahu kapan bencana ini akan berakhir. Gempa susulan terus saja terjadi. Kami tidak tahu apakah hari itu kami semua akan mati. Kami tak tahu, apakah bangunan ini sebentar lagi akan runtuh. Apakah air laut akan naik sampai ke tingkat tiga. Kami juga tidak tahu. Orang-orang mulai mencopot plastik yang membungkus kursi-kursi baru yang terdapat di sini. Ruangan ini adalah aula, dulu tempat ini sering digunakan untuk ruang ujian kami. Plastik-plastik itu ditiup. Beberapa ibu menyematkan plastik yang sudah ditiup itu di punggung anak-anaknya, sebagai pelampung.

Gempa susulan terjadi lagi. Orang-orang panik. Menjerit-jerit. Histeris.

Dokter Iskandar mencoba menenangkan mereka “Dengar… Jangan panik! Kalau ada gempa jauhi jendela kaca. Jangan berdiri di bawah lampu yang tergantung itu. Dengarkan saya, jangan panik. Berdoa saja! Kalau memang kita akan mati hari ini, berserah dirilah kepada Allah. Jangan panik. Berdirilah di bawah kosen-kosen pintu itu.” Jari dokter Iskandar menunjuk-nunjuk ke arah beberapa pintu.

Kami sadar. Kami kekurangan segalanya. Tak ada obat. Tak ada alat. Tak ada makanan, minuman. Kami tak tahu kapan air surut. Atau mungkin akan tambah naik?

Jam menunjukkan pukul 9.30 WIB. Entah siapa yang memerintah, tiba-tiba beberapa di antara kami diajak turun ke lantai dua. Di sana terdapat Poli Gigi, dan kantor Diklat Pendidikan. Dibantu beberapa orang penduduk, kami mulai memecahkan kaca jendela dan pintu poli gigi. Kami masuk. Kami ambil apa saja yang kami anggap berguna : obat, alat-alat medis, kapas, gelas, air minum, gula, termasuk es batu di dalam kulkas. Aku juga memecahkan jendela kantor karena kulihat ada sebuah dispenser dengan sejumlah air di dalam galonnya. Aku ambil. Aku angkut ke lantai tiga.

Di luar sana pasti banyak sekali manusia yang sudah menjadi mayat. Aku edarkan pandanganku ke luar. Tampak beberapa anak sekolah bergantungan di halte depan rumah sakit. Di pagar, tampak seorang pria memegang erat-erat jeruji besi, dengan tubuh gemetar dan menggigil. Samar-samar terlihat sosok yang timbul tenggelam di depan IGD. Mobil-mobil mengapung.

Jam sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB. Di lantai dua, sudah ada Bang Nasrul, Susi, Syahmadi, dan Linda. Mereka baru tiba. Celana dan jas coas mereka basah. Mereka menyelamatkan diri di lantai dua ruang kardiologi, kecuali Syahmadi yang dengan susah payah menyelamatkan diri di atap koridor. Atas saran Bang Nasrul, kami turun ke bawah. Ke dalam air. Kami berencana pulang ke rumah masing-masing. Entah rumah itu masih ada atau telah hanyut.

Tiba di bawah, di dalam air, kami tidak berdiri jauh dari IGD. Maksud kami, kalau air naik lagi, kami bisa langsung lari naik ke IGD. Sebaliknya, kalau IGD runtuh, mungkin kami masih bisa selamat dari reruntuhan. Kami bergandeng tangan di dalam air. Dompet, HP, dan stetoskop sudah kami masukkan ke dalam kantung plastik. Dan kami menaruhnya dalam tas Linda.

Dalam 20 menit kami berhasil tiba di halte yang jaraknya cuma 10 meter dari IGD. Lama kami di sana, dengan perut lapar. Sekilas, aku melihat beberapa bungkus biskuit mengapung di belakang halte. Aku beritahu Bang Nasrul. Ia turun ke air, menjangkaunya dengan sepotong kayu. Kami makan biskuit itu dengan lahap. Tak ada air minum. Untung dalam tas Susi masih tersisa setengah botol air Aqua. Kami bagi berlima. Satu teguk per orang.

Pukul 4 sore, air semakin banyak surut. Kami memutuskan untuk beranjak pulang. Kami berpencar. Susi dan Bang Nasrul pergi ke arah Jambo Tape. Aku, Madi, dan Linda ke arah Peurada. Aku dan Linda tinggal di dusun yang sama. Madi akan ikut bersamaku. Rumah kos-nya di Darussalam. Ia yakin rumahnya telah hanyut tersapu air.

Berjalanlah kami perlahan-lahan. Banyak orang di Simpang Lampriet mengerumuni mayat-mayat yang tergeletak di atas trotoar. Tak ada seorang pun yang kami kenali.

Mayat-mayat wanita yang kami temui sepanjang jalan, nyaris tak berbusana. Bahkan ada yang telanjang bulat. Sedangkan mayat laki-laki, masih banyak yang berpakaian lengkap. Atau hanya tinggal celana. Tak ada yang telanjang bulat. Entahlah, apa arti dibalik kenyataan ini.

Linda nyelutuk “Mungkin semasa hidupnya, mayat-mayat perempuan itu tidak menutup aurat dengan baik”

“Entahlah.. Mungkin saja.” Sahutku datar.

Kami berjalan sangat hati-hati karena kami tidak tahu benda-benda tajam yang tersembunyi dibalik air sepaha itu. Untuk mengurangi kemungkinan kaki kami terluka, kami mengikuti jejak orang-orang di depan kami. Kadang mereka sendiri yang memberi tahu kami. Kami pun melakukan hal yang sama kepada orang di belakang kami.

Mulai dari kantor Gubernur sampai Asrama Haji, kami lihat mobil-mobil tumpang tindih, terbalik, tersangkut di atas pohon, hinggap di atap-atap rumah. Benar-benar seperti dalam mimpi.

“Apakah ini mimpi?” Tanyaku kepada Syahmadi

“Kuharap begitu” Jawab Madi tanpa ekspresi.

“Ya. Ini hanya mimpi. Saat kita bangun pagi esok pasti semua akan seperti sedia kala.” Sambungku.

Saat kami memasuki Simpang Peurada, kami berhadapan dengan jejalan mobil, kayu-kayu, sepeda motor, dan seng-seng atap rumah yang terhanyut. Jalan menjadi sangat sempit. Kami berjalan pelan karena tidak ada orang yang berjalan di depan kami, menyisihkan segala rintangan. Kini kaki-kaki kami mulai terluka. Jantungku berdegup kencang. Sangat kencang. Ruko-ku tak jauh lagi. Pikiran terhadap adik-adikku semakin kuat. Apakah mereka selamat? Mereka harus selamat. Mereka pasti naik ke lantai dua. Aku sudah dapat melihat jelas ruko-ku, masih diapit empat ruko lain di kiri-kanannya. Ada rasa bahagia di hatiku. Semakin dekat aku ke ruko, semakin banyak perubahan yang terlihat. Pintu keempat ruko lain rubuh dan rusak. Terbuka menganga. Sedangkan pintu besi ruko-ku tampak terbuka setengahnya. Ia rusak, tapi tak rubuh. Air masih menggenangi seluruh bangunan ruko. Ada tiga sosok mayat tergeletak di atas papan tepat di depan ruko-ku. Pasti ada orang yang meletakkannya di situ.

Aku berlari dalam air meninggalkan Linda dan Madi. Bergegas aku ingin masuk ke dalam ruko melalui celah pintu yang terkoyak. Langkahku terhenti ketika melihat ke dalam ruko. Bekas batas air di dinding sekitar 2 meter. Masya Allah, semua komputer terendam air di lantai, bertindih-tindih di dekat pintu. Aku tak bisa masuk. Aku memanggil-manggil adik-adikku. Tak ada jawaban. Aku berteriak. Juga tak ada jawaban. Rasa bahagia yang kurasakan tadi mendadak sirna, luruh berkeping-keping.

“Di mana mereka? Di mana…” Teriakku sekuat tenaga. Aku tak bisa menahan tangis. “Ke mana mereka? Kemana…?”

Sambil menepuk bahuku Madi menenangkanku, “Tenanglah Zak. Mereka pasti lari ke tempat yang aman. Tidak naik ke atas. Mereka pasti selamat. Tenanglah…”

“Tapi kenapa mereka harus berlari, itu beresiko. Kenapa mereka tidak naik ke atas.” Protesku dalam isak tangis.

“Mungkin mereka takut gempa susulan. Takut ruko rubuh.” Hibur Madi.

Hanya sejenak Linda bersama kami. Lalu ia pamit pulang ke rumahnya yang hanya beberapa lorong bertaut dari ruko-ku.

Aku masih terisak “Kita harus cari mereka. Sampai ketemu, bagamanapun mereka!”

Tampak beberapa orang lewat di jalan depan ruko-ku. Salah seorang dari mereka kukenali. Aku menanyakan perihal orang-orang yang lari menyelamatkan diri dari ganasnya air bah. Dia bilang bahwa orang-orang di sini berlari ke arah Kampung Pineung. Mereka berkumpul di Masjid. Dia baru saja dari sana. Airnya tidak tinggi, hanya sebatas lutut.

Kabar itu melegakanku, meski belum bisa dibilang bahagia. Aku mengajak Madi. Bergegas. Kami tak merasa lelah sedikit pun, padahal belum makan, dan telah berjalan cukup jauh melewati medan yang amat berat. Sampai di masjid. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh sudut masjid. Pandanganku menyelinap di antara kerumunan orang. Tak ada tanda-tanda keberadaan mereka. Lama aku celingak-celinguk. Aku hampir putus asa. Namun, tiba-tiba seorang gadis memanggilku. Itu adik perempuanku! Ia berlari ke arahku. Memelukku, berurai air mata.

“Yang lain mana?.” Tanyaku

“Ada. Kami selamat semua.”

“Alhamdulillah.” Ucapku halus, hampir tak terdengar

“Kami lari, tidak berani naik ke lantai dua. Takut gempa susulan.”

“Oke. Nggak apa-apa, yang penting kalian selamat.

Setelah bertemu dengan mereka semua, aku pesan supaya malam ini mereka harus tidur di rumah miwa di Lampineung. Aku tak ingin mereka tidur di pengungsian.

Aku dan Madi segera pulang ke ruko. Kami kelelahan. Kami tak tahu harus ke mana lagi. Kami lapar. Kami haus. Kami memutuskan tak ke mana-mana lagi. Kami akan tidur di ruko malam ini, walau kami tahu itu penuh resiko. Mungkin cuma kami yang berani bertahan di sini.

Kami masuk lewat pintu belakang yang memang telah patah. Setelah memeriksa keadaan, kami turun lagi untuk membeli mie instan, air minum dan beberapa jenis makanan ringan di warung Bang Samsul - agak jauh dari ruko-ku. Warung itu rusak dan air menggenanginya, tapi masih ada barang-barang yang kami butuhkan, termasuk beberapa batang lilin.

Setelah berganti pakaian - kebetulan ada beberapa pasang pakaianku di lantai dua - kami memasak mie, cukuplah untuk mengganjal perut kami yang sudah begitu asam.

Malam tiba. Sunyi senyap. Hanya suara anjing menggonggong dari kejauhan yang terdengar. Mungkin mereka sedang pesta daging mayat di seantero Banda Aceh. Melalui jendela, aku melihat rembulan yang bersinar terang, mungkin satu atau dua hari lagi akan purnama. Allah sengaja mencerahkan langit malam ini, juga dihiasi bintang-gemintang karena aliran listrik padam seluruh kota. Kami nyalakan lilin dan bakar obat nyamuk.

Kami merebahkan tubuh. Kami sudah sepakat kalau gempa susulannya kuat, kami akan turun berlari keluar. Tapi bila gempanya tidak seberapa, kami tetap tinggal di atas. Pasrah. Kami hitung, malam ini puluhan kali gempa susulan, besar dan kecil. Beberapa kali pula kami berlari ke bawah. Hanya beberapa jam kami terlelap.

Subuh kembali menyapa walau tanpa kokok ayam. Sunyi senyap bagai berada di suatu tempat yang baru usai perang. Melalui jendela aku mengedarkan padangan ke luar. Air sudah tinggal sedikit. Pagar rumah tetanggaku masih rubuh. Mobil yang terperangkap dalam got masih di situ. Dan tiga sosok mayat di atas papan yang kami lihat kemarin masih di tempat semula. Mulai menggembung. Belum ada lalat.

“Madi” paggilku membangunkannya “Lihatlah keluar. Lihatlah Madi… This is not a nightmare - Ini bukan mimpi…”

Keterangan:
Coas = praktik mahasiswa kedokteran untuk menjadi dokter
PPDS = Program Pendidikan Dokter Spesialis
Labi-labi = Sejenis angkutan kota di Aceh
Miwa = Bibi (aceh)

Banda Aceh, 27 Desember 2004

**Kutulis kisah ini di kamar lantai dua ruko-ku yang bernama Venus Computer, pukul 07.14 WIB, Syahmadi sedang memasak mie instan, memakai kain sarung. Gempa susulan masih saja berlangsung.

Tidak ada komentar: