Rabu, 16 April 2008

CERPEN: Desir Trotoar

Oleh : Abdul Razak M.H. Pulo

Mengeliat-geliat lelaki itu berusaha merangkak di atas trotoar. Di depan sebuah mall. Entah berapa lama sudah ia di situ. Tak kuasa, terkulai layu ia di bawah terik matahari. Tak ada suara yang meluncur dari mulutnya, meski terbuka dan bergerak-gerak. Menggapai-gapai tangannya serupa orang hanyut. Terseret-seret kakinya senti demi senti. Berguling tubuhnya ke kiri ke kanan. Baju lengan pendek dan celana buntungnya kumal penuh kuman. Bagian tangan dan kakinya yang tak terbungkus pakaian menghitam serupa arang. Matahari membakarnya. Berlapis-lapis daki di kulitnya. Kurus tubuhnya menyiratkan kepahitan hidup berbulan-bulan. Mungkin bertahun-tahun di Medan metropolitan ini. Siang ini hiruk-pikuk memenuhi kota setelah tadi pagi orang-orang disibukkan Pilkada pemilihan walikota.

Beberapa lelaki muda bercengkrama di atas bantalan trotoar tak jauh dari si lelaki tua. Asik ngobrol mereka seolah tak melihat si lelaki itu. Mungkin diliriknya pun tidak. Lalu mobil lalang di jalan tiada putusnya, dengan orang-orang gemuk di dalamnya.

Masih searah dengan trotoar itu, di depan sebuah bank, sekitar dua puluh meter dari lelaki itu sebuah pos polisi bertengger. Tampak beberapa polisi duduk bergaya sambil mengisap kretek di dalamnya. Sesekali tertawa lepas.

***

Aku dan Kiki baru saja turun dari angkot. Kami hendak ke mall, tapi rupanya tak ada mall yang buka hari ini. Kami pun mengalihkan tujuan menuju Titi Gantung, ingin kubeli beberapa buku.
Setelah sekian lama berpisah, sekarang jumpa lagi aku dengan Kiki. Setamat SMP dulu ia pindah ke Medan. Dulu sama-sama kami tinggal di sebuah kota kecil di Aceh, dan kami berpisah saat ia harus ikut orang tuanya. Jadilah ia seorang anak metropolitan kini. Tapi ia masih kocak dan cuek seperti dulu. Aku akan tinggal di kota ini sebulan lamanya.

Dari depan mall di atas trotoar kami berjalan gontai. Tak lama kemudian kami dikejutkan si lelaki tua yang mengeliat-geliat berusaha merangkak. Ada semacam desir aneh yang menjalari seluruh tubuhku tiba-tiba : rasa iba. Kulirik Kiki. Dia tampak santai saja, seperti tak merasakan apa-apa.

Segera kudekati lelaki itu, Kiki tetap berdiri di tempatnya. Berdiri sejenak, lalu kedua tanganku kulasakkan ke bawah ketiak lelaki tua. Kutarik tubuhnya mundur perlahan. Aku ingin menyandarkannya pada dinding trotoar yang agak teduh di bawah bayang-bayang rerimbunan bunga taman. Aku coba menariknya sedikit lagi biar lebih tegak, tapi agak sulit karena kakinya lemah sekali. Aku minta bantu Kiki untuk menggeser kaki si lelaki tua. Tampak Kiki keberatan, tetapi kupaksa ia. Kini lelaki itu telah tersandar pada tembok trotoar. Tersenggal-senggal napasnya. Terbuka-tutup matanya.

“Ki, kita harus lakukan sesuatu. Kita harus beli makanan. Atau sesuatu yang bisa dimakan, diminum.” Aku menjulur-julurkan leher mencari-cari di mana kiranya penjual makanan.
Tak ada sahutan dari Kiki.

Aha! Tepat di sebelah kanan pos polisi, ada sebuah kios-berjalan yang ditunggui seorang lelaki paruh baya.

Segera aku ke situ. Kiki diam di tempatnya. Aku membeli satu botol besar air mineral dan sebungkus roti. Kuedarkan pandang sekilas ke arah polisi-polisi itu saat melintas di depan mereka.

Segera aku memberi minum si lelaki tua. Gemetar bibirnya. Bergerak-gerak mulutnya yang terbuka sedikit.

“Kita harus membawanya ke rumah sakit.” Kataku pada Kiki

“Tidak. Kita jangan mencari masalah.” Itu suara pertama Kiki semenjak kami turun dari angkot. Dan suara itu bernada tinggi.

“Apa? Maksudmu?”

“Pokoknya tidak!”

“Kenapa?”

“Kamu tidak tahu. Kalau kita membawa dia ke rumah sakit. Kita yang akan menanggung semua biaya pengobatan. Kita akan terbeban. Belum lagi kalau dia mati, dan tiba-tiba datang keluarganya. Lalu menuntut kita. Entahlah, semua kemungkinan bisa saja terjadi. Yang jelas itu akan memberatkan kita. Terus terang saja aku tidak sanggup. Banyak sekali gembel di sini. Banyak juga yang sudah mati. Di jalan. Di trotoar. Juga di depan rumah-rumah orang kaya. Ini sudah nasib mereka. Biarkan mereka memikirkannya sendiri. Kamu lihat sendiri, kan tak ada yang peduli sama dia. Ini karena mereka tidak mau menambah masalah.”

Aku tercengang. Kutatap Kiki lekat-lekat. Tak jadi aku beli buku. Kami pulang, tapi pikiranku terpacak di pinggir trotoar. Dalam perjalanan kami banyak diam.

Malamnya sulit sekali aku memejamkan mata. Terus terbayang wajah lelaki tua. Pasti ia sedang mendekap malam di atas trotoar. Tersepak-sepak lalu-lalang orang-orang. Pasti ia sedang meringis dalam keramaian. Lalu gigil dalam sunyi.

***

Esok paginya aku yang pertama tiba di rumah sakit. Pak Situmorang yang sedang mengetik sesuatu di dalam kantornya memanggilku dan bertanya “Kamu sudah dapat kasus?”

“Belum pak. Ada kasus baru ya?”

“Ya. Tadi malam diantar polisi.”

“Kasus apa pak?”

“Sudden death. Kayaknya gembel. Dari tubuhnya kelihatan tak terurus. Biasalah. Ini kamu fotokopi dulu surat visum-nya”. Jawab Pak Situmorang sambil menyodorkan secarik kertas kepadaku.

Beberapa temanku sudah tiba saat aku kembali. Mereka akan membantuku memeriksa kasus ini. Ya, inilah tugas co-ass. Kami lalu membuka kamar mayat, dan segera saja aroma formalin menusuk-nusuk hidung kami. Juga mata kami. Sesosok kurus kaku membujur di atas meja otopsi. Kulitnya seolah hanya membungkus tulang belulang. Tak terawat tubuhnya. Dekil. Kumal penuh kuman. Kaki dan tangannya terbakar matahari.

Tak ada tanda-tanda kekerasan dari hasil pemeriksaan luar. Kemungkinan ia meninggal karena suatu penyakit. Untuk mengetahuinya kami harus memeriksa bagian dalam mayat itu.
Pisau diletakkan di bawah dagu mayat, Kamal, teknisi bedah mayat, kemudian menyayatnya perlahan ke arah bawah sampai perut. Kulit dipotong. Lalu lemak. Tulang rusuk. Dan tulang dada. Organ-organ dalam satu per satu kami periksa. Paru-parunya yang sebelah kanan tampak lengket dengan dinding dada. Ini abnormal.

Rongga perutnya lalu kami telusuri. Lambung kami buka. Betapa kagetnya kami, ternyata terdapat enam, bukan, tujuh ekor Ascaris lumbricoides di dalamnya. Cacing-cacing gelang itu pucat kaku. Mati.

Ia gembel. Gelandangan. Mati karena penyakit.

***

Dalam dua minggu ini kami kebanjiran kasus. Ada kasus intoksikasi, suicide, hanging, drowning, infanticide, luka bakar, luka tembak, kecelakaan lalu lintas, dan sudden death. Kami akan belajar di bagian forensik selama empat minggu.

Meski banjir kasus, menjelang akhir minggu ketiga Kiki belum mendapatkan kasus. Maklum, saat kami mengundi urutan pengambilan kasus, ia mendapat nomor terakhir dari jumlah kami yang empat belas.

Hingga kami pulang pada sekitar pukul dua siang, belum juga ada kasus. Tetapi, pada sekitar pukul sepuluh malam, SMS masuk ke HPku “Bang, ada kasus di pirngadi, dtg cpt ya, dr Sighn masuk”

Sedikit terlambat aku tiba. Sambil berjalan aku pakai jas co-as, tergesa dan dari kejauhan tampak Kiki keluar dari kamar mayat. Akhirnya Kiki mendapatkan kasus, pikirku.

Kiki bersandar pada dinding dekat pintu. Matanya terpejam. Mungkin perih terkena hawa formalin, pikirku. Aku menyapanya.

Ia membuka matanya yang berair, mungkin perih terkena hawa formalin.

Aku mengarahkan pandang ke dalam kamar. Sesosok kurus kaku membujur di atas meja otopsi. Bagian tangan dan kakinya yang tak terbungkus pakaian menghitam serupa arang. Panas kota membakarnya. Aku teringat saat ia meringis dalam keramaian. Lalu gigil dalam sunyi.

Kiki masih bersandar pada dinding. Sementara di ruang tunggu, aku menangkap sosok ibunya Kiki tengah meredakan tangis seorang perempuan kurus - pembantu kesayangannya. ***

Medan – Banda Aceh, Juli 2005

Keterangan:
Co-as : dokter muda yang tengah praktik di rumah sakit
Sudden death : kematian mendadak
Suicide : bunuh diri
Hanging : mati gantung
Drowning
: mati tenggelam
Infanticide : pembunuhan anak
Cerpen ini dimuat Harian RajaPost, 2006

Tidak ada komentar: